Vicharius DJ
[email protected]
Jakarta-TAMBANG. Presiden Joko Widodo akhirnya semalam mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi yang efektif berlaku per 18 November 2014. Keputusan yang tak populer ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Jokowi beranggapan subsidi BBM yang ada dalam pelaksanaannya hanya dinikmati oleh golongan tertentu dan tidak tepat sasaran.
Dalam siaran persnya semalam, pemerintah melalui Kementerian ESDM berjanji akan melakukan opsi kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi dengan tujuan alokasi dana subsidi dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih produktif antara lain: program pendidikan, kesehatan serta perluasan pembangunan infrastruktur sehingga dapat menyerap tenaga kerja bagi masyarakat.
“Pemerintah berusaha agar tekanan yang berasal dari kenaikan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat. Langkah-Iangkah seperti pengendalian BBM bersubsidi dan konversi BBM bersubsidi ke gas telah dan akan terus dilakukan,” kata Saleh Abdurahman, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM.
Menurut Saleh, harga BBM subsidi selama 10 tahun terakhir telah mengalami beberapa kali penyesuaian, misalnya pada tahun 2005 untuk harga bensin premium dari Rp. 1.810/liter menjadi Rp. 2.400/liter. Pada tahun yang sama, Pemerintah kembali menyesuaikan harga bensin subsidi dari Rp. 2.400/liter menjadi Rp. 4.500/liter (atau kenaikan sekitar 87%). Sementara solar naik dari Rp. 2.100/liter menjadi Rp. 4.300/liter (atau sekitar 105%).
“Pada tahun 2013, harga bensin premium naik menjadi Rp. 6.500/liter (44,4%), sedangkan solar naik menjadi Rp. 5.500/liter (51,1%). Sementara saat ini, penyesuaian harga BBM subsidi ditetapkan sekitar 30,7% untuk bensin premium dan 36,3% untuk minyak solar,” jelasnya.
Pemerintah, kata Saleh tetap akan meningkatkan pengawasan konsumsi BBM bersubsidi agar tepat sasaran serta lebih menggalakkan penggunaan BBG serta BBN untuk kendaraan bermotor serta opsi-opsi lainnya untuk mengendalikan konsumsi BBM subsidi. Semua kebijakan ini pada akhirnya diharapkan akan semakin memperkuat dan menggairahkan perekonomian nasional serta memperbaiki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu periset bidang energi Network of Market Investor (NMI), Franky Rivan mengatakan, saat ini sudah sedikit sekali negara yang memberikan subsidi kepada fossil fuelnya. Kalaupun ada, subsidi tersebut terbukti tidak efektif dalam memberikan kemakmuran. Misalnya Iran, beban subsidi BBM mereka sudah berkisar US$ 80 miliar atau sekitar Rp 880 triliun.
Koefisien Gini atau tingkat pemerataan Iran adalah sebesar 44,5 yang artinya sangat tidak merata, hampir mendekati Zimbabwe dengan koefisien gini sebesar 50,1. Lalu Rusia dengan beban subsidi BBM yang berkisar US$ 39,3 miliar atau sekitar Rp 432,3 trilliun. Koefisien gini mereka sebesar 42,0 yang juga artinya sangat tidak merata.
Indonesia sendiri memiliki beban subsidi BBM sebesar Rp 210,735 trilliun dan koefisien gini nasional di angka 36,8. Di sinilah, kata Franky, muncul persoalan serius bahwa subsidi yang ditujukan agar