JAKARTA, TAMBANG – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif menyebut, pemerintah masih membutuhkan energi fosil selama masa transisi energi. Hal ini dia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, di Jakarta, Kamis (17/2).
“Kemudian pada periode transisi energi, energi fosil masih memiliki peran penting untuk dikembangkan, sebelum energi yang lebih bersih tersedia. Minyak bumi masih sebagai energi utama untuk transportasi, sebelum digantikan oleh kendaraan listrik, dan gas bumi dapat dimanfaatkan untuk energi transisi sebelum energi terbarukan 100% di pembangkit,” ungkapnya.
Menurutnya, batubara masih menjadi sumber bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebelum ada sumber energi pengganti yang lebih bersih. Sementara di masa depan, batu panas ini akan diarahkan untuk pemanfaatan rumah tangga melalui pengembangan Dimetil Eter (DME), pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Dalam kesempatan ini, Arifin juga menyampaikan bahwa pemerintah saat ini tengah melakukan berbagai upaya untuk dapat mencapai target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen di tahun 2025. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan menggalakkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baik oleh swasta maupun pemerintah.
“Guna mencapai target bauran energi di tahun 2025, upaya yang sedang dilakukan antara lain pelaksanaan pemasangan PLTS Atap, yang akan dilakukan oleh pihak swasta, sebesar 3,6 gigawatt (GW). Kemudian pembangunan pembangkit EBT sebesar 10,6 GW yang sudah termasuk dalam RUPTL PLN. Selanjutnya adalah penerapan biofuel sebesar 11,6 juta kilo liter (KL),” ungkapnya.
Arifin juga menyampaikan bahwa rencana penambahan pembangkit setelah tahun 2030 ini akan berasal dari sumber EBT. Mulai tahun 2035 akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) berupa energi surya dan angin, serta arus laut.
“Hidrogen akan dimanfaatkan secara bertahap, mulai tahun 2031 dan secara masif pada tahun 2051. Sedangkan pembangkit listrik tenaga nuklir diharapkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2049,” paparnya.
Arifin kemudian memaparkan peta jalan transisi energi yang telah disusun oleh Pemerintah secara rinci. Menurutnya, strategi utama dari sisi suplai energi yang dilakukan untuk menuju karbon netral adalah melalui pengembangan EBT secara masif dengan fokus kepada tenaga surya, hidro, panas bumi dan hidrogen. Kemudian pemanfaatan teknologi rendah emisi seperti Carbon Capture, yaitu teknologi Carbon Capture, Utility, and Storage (CCUS) serta Carbon Capture Storage (CCS) akan terus dilakukan.
“Dari sisi demand, dilakukan pemanfaatan kompor listrik dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), di samping penerapan manajemen energi. Saat ini tim Net Zero Emission (NZE) dari Kementerian ESDM masih melakukan pendalaman roadmap NZE untuk mengurangi emisi pada tahun 2060 di sektor energi,” tambahnya.
Agar rencana tersebut dapat berjalan dengan baik, kata Arifin, diperlukan penetapan atas Peraturan Presiden tentang Pembelian Energi Terbarukan. Selain itu, diharapkan ada kemudahan perizinan berusaha dari Kementerian/Lembaga terkait, dan tersedianya insentif fiskal dan nonfiskal.
Selain itu, direncanakan pula pengembangan super grid untuk meningkatkan konektivitas antara sistem kelistrikan antarpulau untuk berbagi sumber energi terbarukan. Penerapan super grid diharapkan dapat mengatasi divergensi antara sumber energi terbarukan lokal dan lokasi permintaan energi listrik yang tinggi.
“Selain itu pengembangannya akan mampu mengurangi dampak intermitensi dari pembangkitan variabel energi terbarukan yang semakin meningkat dan membuka peluang untuk mengekspor listrik ke negara ASEAN khususnya,” tutur Arifin.