Oleh : Wahyu Prasetyawan Ph.D*
Riset terbaru yang dilakukan oleh Forests and Finance, sebuah konsorsium lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang punya komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan, memperlihatkan adanya hubungan dua arah yang saling bersimbiosis: lembaga keuangan dan perusahaan yang berinvestasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam.
Kedua kelompok tersebut melakukan hubungan bisnis yang saling menguntungkan, namun beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut berdampak kepada hutam alam tropis dan masyarakat yang hidup dari sumber daya alam yang sama.
Yang menarik, riset serius Forests and Finance tersebut memberikan penilaian rendah terhadap lembaga keuangan dari Indonesia, yang memberikan pinjamannya kepada pengusaha yang operasinya berdampak terhadap lingkungan hidup.
Saat ini pembangunan berkelanjutan memang menjadi isu yang amat penting, karena adanya perubahan iklim yang tak dapat dihindari. Indonesia juga terikat dengan perjanjian di tingkat dunia untuk ikut menangani isu perubahan iklim tersebut, salah satunya dengan menurunkan emisi karbon. Sampai pada titik ini komitmen Indonesia untuk menjalankan pembangunan yang berkelanjutan, yang diharapkan dapat menjaga lingkungan hidup dan menurunkan emisi karbon, bisa dikatakan sebagai institusi-institusi.
Di sini institusi dipahami sebagaimana yang disebutkan dalam literatur institutional economics, yaitu sebagai aturan formal yang tertulis. Aturan-aturan inilah yang menjadi panduan bagi anggota masyarakat, termasuk di dalamnya pemerintah dan bisnis, untuk berinteraksi.
Indonesia sudah terikat kepada komitmennya untuk ikut menyelesaikan persoalan perubahan iklim global dengan cara menurunkan emisi karbon. Namun, terkait hal ini setidaknya akan menghadapi masalah dari dua jurusan yang berbeda. Pertama, dari lembaga jasa keuangan. Kedua, dari pemerintah.
Tantangan yang akan muncul dari lembaga jasa keuangan terletak pada model bisnis yang sudah mereka jalankan hingga sekarang, harus diakui, belum memberikan perhatian yang cukup bagi agenda-agenda penting pembangunan berkelanjutan. Motif paling utama dari lembaga jasa keuangan, selain menjadi perantara, adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang sahamnya.
Seperti dipaparkan Forests & Finance, institusi dalam lembaga jasa keuangan memperlihatkan bahwa belum ada insentif dan disinsentif yang memadai. Insentif di sini maksudnya terkait dengan sustainable finance. Pertanyaan kuncinya, apa keuntungan yang akan didapatkan oleh lembaga jasa keuangan jika memberikan pinjaman kepada perusahaan yang patuh terhadap aturan-aturan konservasi atau perlindungan hutan.
Selanjutnya adalah, hukuman apa yang akan diberikan kepada lembaga jasa keuangan jika memberikan pinjaman kepada perusahaan yang terbukti operasinya menghasilkan dampak buruk terhadap lingkungan hidup.
Yang ada hingga saat ini adalah bentuk disinsentif kepada perusahaan-perusahaan yang operasinya merusak lingkungan. Walaupun sudah terdapat disinsentif kepada perusahaan, isu yang kerap muncul adalah implementasi dan penerapannya (enforcement) di lapangan.
Dalam kaitannya dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas yang mengatur lembaga jasa keuangan, diharapkan tidak hanya mampu mengeluarkan peraturan. OJK seharusnya mampu melakukan monitoring (pemantauan), enforcement (penerapan), dan implementasi. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, OJK punya otoritas normatif yang sangat kuat untuk dapat menjalankan aturan-aturan mengenai keuangan berkelanjutan. Asumsinya, OJK membuat peraturan dengan tujuan yang jelas bisa diimplementasikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Ada tiga jenis tantangan yang akan dihadapi untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pertama, aturan-aturan bisa saja dibuat untuk memberikan kesan bahwa Indonesia sudah memberikan perhatian yang cukup terhadap isu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Aturan-aturan ini dibuat untuk menimbulkan kesan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, sejatinya aturan-aturan tersebut hanya macan kertas karena memang tidak benar-benar ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Kedua, aturan-aturan mengenai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dibuat oleh pemerintah dengan benar-benar ingin mencapai tujuannya. Namun, masih ada hambatan yang disebabkan oleh struktur birokrasi atau lembaga jasa keuangan yang akan menjadi bagian dari tercapainya tujuan tadi. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, yang menekankan kelestarian lingkungan, tentu tidak dapat dicapai dengan upaya yang sudah biasa dilakukan sebelumnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, yaitu terjadinya trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Sebelum isu lingkungan hidup menjadi arus utama, kelestarian lingkungan selalu menjadi korban demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi.
Hampir tak bisa dibayangkan adanya pertumbuhan tanpa merusak lingkungan. Diperlukan suatu susunan birokrasi dan lembaga jasa keuangan yang punya cara berpikir lebih ramah terhadap isu lingkungan hidup. Pada sisi pemerintah memang harus ada perubahan cara berpikir yang radikal agar dapat memahami persoalan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan menjadi nyata.
Adapun pada sisi lembaga keuangan dapat dipersiapkan beberapa mekanisme yang berkaitan langsung dengan reputasi perusahaan: jika perusahaan patuh terhadap aturan-aturan pelestarian lingkungan hidup dan memberikan pinjaman kepada perusahaan yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan akan mendapatkan reputasi baik.
Ketiga, aturan-aturan yang dibuat sering kali mengalami perubahan sehingga menimbulkan kekacauan karena panduannya tidak ajek. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jelas memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak. Jika regulasi-regulasi dipahami sebagai arena tempat berbagai kepentingan diakomodasi, maka peluang untuk terjadinya instabilitas regulasi menjadi sangat terbuka.
Hubungan pemerintah dan para pengusaha besar yang operasinya berdampak terhadap lingkungan tidak selalu dalam situasi harmonis dan saling penuh pengertian. Hubungan keduanya bersifat sangat dinamis mengikuti dinamika politik dan juga dinamika pasar internasional atas suatu komoditas tertentu.
Selain itu, instabilitas regulasi, yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan, bisa muncul dari pemerintah sendiri ketika harga komoditas yang menjadi andalan turun di pasar internasional. Dalam situasi demikian, sangat mungkin pemerintah mengubah aturan-aturan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan menjadi pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup.
Maka, kuncinya terutama terletak pada pemerintah untuk tetap mempertahankan tujuan kelestarian lingkungan. Dalam situasi paling buruk sekalipun pemerintah hendaknya tetap berkomitmen untuk melestarikan lingkungan, walau harus diakui ini sangat tidak mudah karena daya pandang sebuah pemerintahan panjangnya hanya 5 tahun, sejalan dengan siklus pemilihan eksekutif.
*Penulis adalah dosen ekonomi-politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan penulis buku Networked: Business and Politics in Decentrralizing Indonesia 1998-2004 (2018)