Beranda Sosok Mengenang Prof Latief Baky, Sosok Bijaksana Yang Selalu Ceria

Mengenang Prof Latief Baky, Sosok Bijaksana Yang Selalu Ceria

Oleh: Prof. Dr. H. Abrar Saleng, SH, MH Guru Besar Ilmu Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin Makassar

Jakarta, TAMBANG – Saya biasa menyapa Abdul Latief Baky dengan panggilan Prof Latief, sebagai bentuk penghargaan saya kepada beliau, yang merupakan guru bagi saya di bidang ilmu pertambangan. Saya selalu teringat bagaimana beliau juga senantiasa memberi penghormatan kepada saya, yang menyapa saya dengan panggilan Prof Abrar.

Saya banyak belajar tentang tambang kepada beliau, sebagaimana beliau juga banyak bertanya kepada saya  tentang ilmu hukum. Secara kebetulan, saya dan beliau memiliki kesamaan, menggeluti dua bidang ilmu; hukum dan pertambangan.

Saya ingat betul, awal pertemuan dengan beliau di Gedung Parlemen DPR RI, tahun 2001. Ketika itu kami diundang oleh Komisi VII DPR RI, beliau dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), dan saya mewakili Rektor Universitas Hasanuddin Makassar untuk memberikan masukan terhadap RUU Pertambangan yang dibahas sejak 1998,  dan baru disahkan pada tanggal 12 Januari 2009 dengan sebutan UU Nomor 4 tahun 2009.

Dari pertemuan itulah,  beliau sering mengundang saya jika ada acara PERHAPI di daerah melalui kolega dan sahabat karib beliau di Makassar,  Almarhum Sampara Salman, yang juga guru tambang  saya dan Ketua Departemen Hubungan Daerah, Rizal Kasli, yang saat ini menjadi Ketua Umum PERHAPI. Kemudian dari berbagai pertemuan beliau mengutarakan niatnya untuk mempelajari hukum melalui pendidikan formal.

Cita-citanya terwujud sebagai ahli hukum

Niat luhur dan cita-cita mulia beliau akhirnya tercapai semua, pendidikan strata satu ilmu hukum ditempuh di Universitas Bung Karno, lalu magister ilmu hukum di Universiatas Gadjah Mada, dan gelar doktornya diraih di Universitas Hasanuddin pada tahun 2013 lalu. Saat itu, saya sendiri yang menjadi promotornya.

Keluarga  Prof Latief dan keluarga saya sangat dekat, karena kerabat saya di Rappang menikah dengan anak keponakan beliau dari Surabaya-Banjarmasin. Sejak kami berkenalan, tak pernah kami lepas komunikasi, kami selalu bertemu di kegiatan-kegiatan seputar pertambangan, termasuk agenda-agenda PERHAPI.

Ketika beliau masih menjabat sebagai ketua PERHAPI periode kedua, saya dipercaya sebagai Ketua  PERHAPI Perwakilan Sulawesi Selatan tahun 2006- 2009.

Pertemuan terkahir saya dengan beliau, tepat satu bulan sebelum kepergian beliau untuk selamanya, tanggal 2-5 Agustus 2020.  Saya dan beliau diminta untuk menjadi saksi dan memberikan keterangan ahli dalam persidangan kasus tindak pidana penambangan di hutan lindung Kabupaten Raja Ampat, tepatnya di Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat.

Firasat kepergian Prof Latief

Ketika beliau chek out di salah satu hotel di Sorong, saya mengantar sampai di depan mobil yang akan membawanya ke bandara. Karena berbeda pesawat dan jadwal penerbangan selisih 4 jam,  saya dan beliau tidak bersamaan pergi ke Bandara, berpisah di hotel.

Ketika beliau berpamitan dengan saya, beliau memeluk saya dengan sangat erat. Dalam waktu yang lama dan berbisik dengan suara yang pelan nan parau, beliau  menitip salam untuk istri dan anak-anak saya yang  memang  juga dekat dengan beliau.

Pemandangan pelukan yang lama itu, membuat petugas hotel dan resepsionis heran dan tertawa, padahal saya dengan beliau tiga malam menginap bersama.

Firasat kepergian beliau ditunjukkan ketika mobil yang ditumpanginya  diminta lagi mundur ke lobi, saya pikir ada yang tertinggal, ternyata belaiu turun dari mobil, hanya untuk salaman dengan saya, dan spontan saya melempar candaan, “memangnya kita enggak ketemu lagi,” seloroh saya.

Jelas ini gurauan saja, karena saya dan beliau sudah janjian akan bertemu lagi, untuk berlibur bersama dengan mengajak keluarga ke Raja Ampat, Oktober mendatang jika Covid-19 ini sudah berlalu.

Namun tak dinyana, di luar dugaan saya. Saat matahari pagi tanggal 2 September 2020 baru mengepakkan sinarnya ke bumi, telepon saya berdering. Ada panggilan dari saudara saya, Hendra Sinadia, yang sekarang Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Dengan nada yang serak, Hendra bilang, Prof Latief  telah pergi selamanya.

Sontak, secara tak sadar, mata saya berkaca-kaca. “Kok bisa ?” kata saya dalam hati.

Dengan segala keikhlasan, tak ada kata lagi yang bisa saya ucap selain; selamat jalan guruku, kakakku sahabatku yang bijak dan selalu ceria.

Banyak sekali kesan dan kenangan yang beliau tinggalkan untuk kita semua. Semoga beliau husnul khotimah dan diberi tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.