Jakarta, TAMBANG – Sumberdaya dan cadangan mineral dan batu bara masih terbilang melimpah sehingga mampu menjadi modal utama dalam mewujudkan Indonesia emas 2045.
Hal tersebut disampaikan Asisten Deputi Minyak dan Gas, Pertambangan dan Petrokimia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Herry Permana dalam sambutan Mining Innovation Summit: Sustainability in Mining yang diselenggarakan Majalah TAMBANG dan Dassault Systèmes di Jakarta, Rabu (22/11).
“Potensi sumber daya dan cadangan mineral dan batu bara cukup signifikan bagi pengembangan industri nasional menuju Indonesia emas 2045,” ujar Herry.
Menurut dia, dalam pengembangan dan pengolahan komoditas tersebut dibutuhkan komitmen pelaku usaha untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan. Termasuk mengimplementasikan program Environmental, Social and Governance (ESG) dengan kontinu.
“Di mana kebutuhan pasokan dalam negeri yang menjadi prioritas akan keberlangsungan dan keberlanjutan industri dapat bekerja dengan baik,” bebernya.
Ekonomi berkelanjutan sektor pertambangan, imbuh Herry bisa dilaksanakan melalui peningkatan nilai tambah dengan melaksanakan program hilirisasi. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Dengan adanya UU 3 tahun 2020 tentang perubahan atas UU nomor 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Pasal 102 ayat 1, pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi wajib meningkatkan nilai tambah mineral maupun batu bara dalam kegiatan usaha pertambangan tersebut,” jelas Herry.
Merujuk beleid tersebut, pelaku usaha tambang wajib melakukan hilirisasi baik mineral maupun batu bara dengan membangun fasilitas peleburan dan pemurnian alias smelter. Di batu bara, hilirisasi misalnya dapat berbentuk dimethyl ether (DME).
“Industri pertambangan wajib ikut serta dalam proses hilirisasi melalui pembangunan smelter maupun untuk pengembangan atau peningkatan batu bara dengan baik. Sebagaimana batu bara itu bisa ditingkatkan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat seperti gas sesuai roadmap yang sudah ditetapkan,” beber dia.
Herry tidak menampik kalau sekarang sudah banyak perusahaan pemegang IUP atau IUPK yang melakukan hilirisasi. Meski untuk mewujudkan hal ini secara merata masih menemui kendala seperti pembiayaan yang mahal dan sebagainya.
“Namun proses hilirisasi ini tidak mudah. Banyak tantangan yang perlu diselesaikan. Seperti dalam proses hilirisasi pertambangan di Indonesia. Salah satu tantangan utama adalah besarnya investasi yang dibutuhkan,” pungkasnya.