Jakarta-TAMBANG. Pemerintah sedang melakukan kajian untuk penerapan kebijakan Petroleum Fund (PF) sebagai bantalan guna mengantisipasi fluktuasi harga minyak dunia. Selain itu kebijakan PF digunakan untuk mendanai kegiatan eksplorasi migas di hulu dan juga sebagai dana cadangan untuk mengantisipasi dampak disparitas harga eceran BBM Pertamina. Ditargetkan akhir tahun kajian tersebut rampung.
Terkait dengan rencana tersebut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyambut baik kebijakan tersebut. Namun sebelum kebijakan tersebut diberlakukan pemerintah harus memahami dengan baik antara PF dengan dana stabilisasi BBM.
Menurut Marwan Pemerintah harus membedakan dengan jelas konsep PF dengan dana stabilisasi harga BBM. Seperti diketahui PF terutama digunakan untuk menjamin adanya disiplin fiskal, mencari cadangan migas baru, mensimulasi pengembangkan EBT, mengurangi ketergantungan pada pendapatan migas dan menciptakan mekanisme distribusi pendapatan migas secara adil dengan generasi mendatang.
PF juga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kemampuan SDM, kualitas informasi konsesi migas yang ditawarkan dan dana litbang. Sementara dana stabilisasi BBM diadakan untuk menciptakan stabilisasi harga BBM dalam periode yang lebih panjang akibat fluktuasi harga minyak. Di dalamnya termasuk menerapkan pajak BBM yang tinggi saat harga minyak rendah dan sebaliknya.
Selain itu dari sisi waktu, PF bersifat jangka panjang yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi generasi mendatang. Sementara dana stabilisasi BBM bersifat jangka pendek guna mengatasi fluktuasi harga dalam konteks optimasi manajemen anggaran dan dampaknya pada sektor lain.
Dalam tataran operasional penerapan PF memerlukan pemberlakuan UU Migas baru, termasuk menetapkan lembaga baru sebagai pelaksana dan kuasa pengguna anggarannya. Sedangkan penerapan dana stabilisasi dapat diakomodasi dalam UU APBN yang dibahas setiap tahun dan kuasa penggunaan anggarannya adalah Kementrian ESDM dan/atau Pertamina.
Seperti diketahui RUU APBN 2016 telah disampaikan Presiden kepada DPR RI dan DPD RI pada 14 Agustus 2015 dan akan ditetapkan menjadi UU APBN 2016 oleh DPR pada Oktober 2015. Sedangkan RUU Migas dan aturan turunannya belum tentu ditetapkan pada 2015. Jika harga minyak dunia mendadak naik kembali dan kurs Rupiah terus menurun, rakyat akan menanggung beban kenaikan harga BBM. Tidak hanya rakyat, Pertamina juga akan menanggung kerugian karena belum tersedianya peraturan yang mendukung pelaksanaan PF.
Dalam kondisi perpolitikan Indonesia saat ini, dana stabilisasi harga BBM dapat berperan sebagai dana pengganti subsidi APBN. Faktanya pemerintahan Jokowi-JK pun gamang menerapkan kebijakan harga BBM sesuai harga keekonomian yang telah ditetapkan sendiri, sesuai Perpres No.191 Tahun 2014.
“Pencabutan subsidi BBM hanya layak diterapkan sepanjang pemerintah telah mampu menciptakan sistem subsidi langsung yang tepat sasaran. Namun, besarnya subsidi yang dianggarkan di APBN dapat ditetapkan pada angka tertentu yang layak (fixed subsidy),”kata Marwan.
Oleh sebab itu, terlepas bahwa pemerintah sudah membuat kebijakan harga BBM berdasarkan nilai keekonomian sesuai Perpres N0.191/2014, yang ternyata tidak konsisten dijalankan, subsidi APBN tetap harus dianggarkan dalam APBN dan mekanismenya dijalankan melalui pemberlakuan dana stabilisasi BBM dalam UU APBN 2016.
“Guna menjaga wibawa, Pemerintah mungkin saja enggan menarik kebijakan Perpres No.191/2014 yang telah dikeluarkan. Namun sikap yang tidak konsisten dan tidak kstaria ini dapat mengorbankan rakyat, BUMN dan kepentingan ketahanan energi nasional,”katanya.
Oleh karenanya IRESS meminta agar pemerintah dan DPR segera menerapkan kebijakan dana stabilisasi BBM dan mengalokasikan anggarannya dalam APBN 2016. Adapun kebijakan PF yang memang mendesak pula diadopsi, penerapannya dapat dijalankan terpisah dari dana stabilisasi BBM melalui ketentuan dalam UU Migas baru yang sedang disusun.