JAKARTA-TAMBANG. Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara,meminta Pengawas Usaha Hulu Migas untuk tidak melakukan pelemahan pada perusahan migas nasional. Salah satunya dengan menuduh perusahaan migas nasional melakukan tindakan korupsi.
“Perlu penelusuran komprehensif kepada lembaga pengawas kegiatan hulu migas dan kementerian terkait sebelum menyatakan perusahaan kontraktor migas nasional terlibat dalam kegiatan korupsi yang merugikan negara. Karena tudingan tersebut berpotensi melemahkan peran perusahaan migas nasional dalam menjalankan usaha migas di Tanah Air,”kata Marwan.
Menurut Marwan semua masyarakat sepakat bahwa kegiatan korupsi yang merugikan negara harus diberantas tuntas. Namun sebelum hal tersebut dituduhkan ke salah satu perusahaan atau pihak, pelu ada penyidikan dan penyelidikan secara komprehensif.
“Kontraktor migas, tidak bisa suka-suka melakukan semua kegiatan di migas. Prosedurnya cukup ketat, baik saat kegiatan eksplorasi, produksi, maupun migas milik negara. KKKS itu selalu mendapatkan pengawasan yang ketat dari SKK Migas dan Kementerian ESDM,” ujar Marwan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Marwan menyoroti kasus penjualan gas dari lapangan Poleng, di laut Jawa, dekat Pulau Madura, Jawa Timur. Menurut mantan anggota DPD ini perlu ada klarifikasi pada pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam proses penjualan gas tersebut, yaitu SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Pemerintah Kabupaten Bangkalan, JawaTimur. Apalagi bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuding pihak penjual gas, yaitu Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero), diduga masuk ke dalam pusaran korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron, Direktur PT Media Karya Sentosa (MKS), dan Direktur Perusahaan Daerah Sumber Daya, Badan Usaha Milik Daerah Kabupaten Bangkalan.
Sebagai pengawasan kegiatan kontraktor migas, SKK Migas dituntut untuk menjelaskan kepada lembaga antirasuah itu, bagaimana sebenarnya posisi perusahaan migas dalam kegiatan jual beli gas dalam kasus ini Pertamina EP itu. Tanpa ada informasi yang komprehensif, terutama dari penanggungjawab kegiatan minyak dan gas bumi di Indonesia, akan muncul kesan dan pencitraan yang buruk, apalagi bagi BUMN. “Jangan sampai muncul kesan perusahaan BUMN dalam menjalankan kegiatan migas tidak becus,” ujar Marwan.
Marwan meminta manajemen Pertamina EP memberikan keterangan secara transparan, termasuk jika dalam proses jual beli gas tersebut terdapat paksaan atau intervensi dari pihak lain yang ingin mengambil untung sehingga negara dirugikan. “Kalaupun memang ada (dari internal Pertamina) yang terlibat jangan dilindungi, harus terbuka dan transparan,” saran Marwan.
Dia juga mewanti-wanti agar tetap waspada terhadap upaya pihak tertentu yang ingin mengerdilkan peran BUMN seperti Pertamina dalam melakukan kegiatan baik hulu migas maupun dalam proses jual beli. Peran yang seharusnya bisa dilakukan oleh Pertamina, kemudian dilakukan oleh pihak lain dengan alasan bahwa Pertamina tidak mampu dalam melakukan tugasnya. “Upaya yang lebih luas dengan maksud-maksud tertentu ini yang harus terus kita waspadai,” imbuhnya.
Sementara itu Yusri Usman, pengamat kebijakan migas, menilai SKK Migas juga ikut bertanggungjawab dalam kasus perjanjian jual beli gas milik negara kepada pihak ketiga oleh Pertmaina EP. Apalagi, dalam alokasi gas, Pertamina harus meminta persetujuan dari SKK Migas.
Menurut Yusri, kasus gas Bangkalan sudah lama dilaporkan ke penegak hukum, terutama terkait wanprestasi yang dilakukan oleh PT MKS, dengan tidak membangun pipa gas untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Gili Timur berkapasitas 1X20 megawatt di Bangkalan. “Kasus ini semakin rumit dengan aroma kongkalingkong yang kuat,” katanya.
Sebagaimana diketahui, kasus gas Bangkalan mulai mencuat ke permukaan setelah mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron dan direktur PT MKS serta PD Sumber Daya ditangkap KPK, awal Desember 2014. Mereka diduga terlibat dalam kasus korupsi pasokan gas dari lapangan Poleng untuk PLTG Gili Timur yang tak kunjng dibangun.
Pasokan gas untuk PLTG Giri Timur, Bangkalan berasal dari lapangan Poleng yang saat itu dioperasikan oleh Technical Assistance Contract (TAC) Korea Development Co Ltd (Kodev), mitra Pertamina EP. Penunjukan PT MKS dilakukan melalui proses pemilihan yang dilakukan TAC Kodev pada kurun 2006-2007 karena memberikan harga gas terbaik pada saat itu.
Bupati Bangkalan saat itu Fuad Amin berdasarkan surat No 542/672/433.033/2006 tanggal 30 Mei 2016 kepada Kodeco terkait dukungannya terhadap rencana penyaluran gas alam ke Gili Timur dan memohon Kodeco untuk mengalokasikan gas alam untuk mengantisipasi kebutuhan listrik di Madura. Pada 23 Juni 206, MKS dan Perusahaan Daerah Sumber Daya meneken kerja sama pembangunan pamasangan pipa gas alam di Bangkalan.
Pada 7 September 2006 ada rapat antara BP Migas, PT Pertamina (Persero) dan Kodev. Dalam pertemuan itu, BP Migas menyatakan ada kebutuhan listrik yang mendesak di Jawa Timur khususnya Madura, Kodev agar dapat mengalokasikan gas untuk pembangkit Gili Timur di Bangkalan. Kodev akan menyampaikan kepada BP Migas permohonan penunjukan untuk menjual gas bagian negara.
Seminggu kemudian, ada surat permohonan dari PT Pembangkitan Jawa Bali No B-009060-Rev kepada BP Migas, untuk segera direalisasikan rencana penambahan alokasi gas termasuk PLTG Gili timur, Madura. Pada 15 Desember 2006, BP Migas melalui surat No. Kpts-54/BP00000/2006-S0 menunjuk Pertamina EP untuk menjual gas bagian negara.
Pada 18 Desember 2006, ada surat dari Direktur PEP No. 872/EP0000/2006-S0 kepada Kodev yang menyatakan tidak keberatan melakukan pelimpahan kewenangan penunjukan penjual kepada Kodev untuk bertindak selaku wakil penjual gas setelah mendapatkan persetujuan terkait dari BP Migas. Sehari kemudian, Pertamina EP dan PT MKS menandatangani head of agreement (HoA). Pada Pasal 6 HoA, MKS menyatakan telah membentuk konsorsium dengan PD Sumber Daya, sebuah BUMD Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Pasal 7 HoA mengatur syarat tangguh yang salah satunya adalah MKS harus membentuk konsorsium dengan BUMD yang mewakili kepentingan Pemkab Bangkalan.
Pada 15 Mei 2007, Kepala BP Migas mengirim surat kepada Menteri ESDM Nomor 345/BP00000/2007-S2 tanggal soal permohonan persetujuan harga gas bumi. Pad 5 Juni 2007, berdasarkan Surat Kepala BP Migas No KEP-50/BP00000/2007/S2, Pertamina EP ditunjuk sebagai penjual gas bumi.
Pada 5 September 2007, Pertamina EP meneken perjanjian jual beli gas (PJBG) dengan MKS dengan Nomor Perjanjian 860/EO0000.2007-S0 untuk PEPdan ME-P/DIR/GE/IX.07/A.433 untuk MKS. Pada 3 Desember 2007, perjanjian kerja sama diteken antara PD Sumberdaya dan MKS. Gas yang akan dipasok ke pembangkit listrik PJB di Gili Timur Bangkalan adalah maksimum 8 BBTU.
Pada 14 April 2008, Menteri ESDM menyurati Kepala BP Migas berdasarkan surat nomor 2764/12/MEM.M/2008 terkait persetujuan harga jual gas bumi Pertamina EP kepada MKS untuk kebutuhan pembangkit listrik Gili Timur Bangkalan Madura.