Beranda Batubara Mantap, HBA Februari Ditetapkan Sebesar USD87,79 Per Ton

Mantap, HBA Februari Ditetapkan Sebesar USD87,79 Per Ton

ilustrasi

Jakarta,TAMBANG, Masih melanjutkan trend positif sejak Oktober 2020, Harga Batubara Acuan (HBA) bulan Februari 2021 tercatat menguat 15,7%. HBA merupakan harga acuan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Harga acuan untuk bulan Februari ini ditetapkan sebesar USD87,79 per ton. Naik cukup signifikan dibanding HAB bulan Januari 2021 sebesar USD75,84 per ton.

Salah satu penopang kenaikan harga salah satu sumber energi murah ini adalah sentimen yang dibentuk oleh supercycle komoditas (commodity supercylce). “Adanya sentimen commodity supercycle, antara lain kenaikan harga gas ikut memperkuat harga batubara,” terang Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta, Kamis (4/2).

Sinyal supercycle ini, lanjut Agung, diyakini akan terjadi di tahun 2021 pada berbagai komoditas terutama komoditas pertambangan. Salah satu pemicunya berasal dari suku bunga acuan yang rendah, mata uang Dollar Amerika Serikat yang lemah hingga pertumbuhan ekonomi serta pembangunan infrastruktur di berbagai negara.

Selain faktor supercycle penyebab utama dari pendorong kenaikan HBA adalah melonjaknya permintaan impor dari Tiongkok. “Suplai batubara domestik (Tiongkok) tidak dapat memenuhi kebutuhan batu bara pembangkit listrik,” ungkap Agung.

Untuk diketahui sempat melemah di Maret 2020, harga batubara kembali pulih (rebound) pada Oktober 2020 (USD51/ton). Kemudian berlanjut sampai Februari 2021. “Selama empat bulan terakhir harga batubara terus menuju ke level psikologis,” tandas Agung.

pergerakan harga batu bara ditentukan oleh berbagai faktor namun yang utama adalah pasokan dan permintaan. Faktor yang mempengaruhi pasokan diantaranya season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara pemasok, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor permintaan lebih karena kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.