Jakarta, TAMBANG – Penambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) masih kerap ditemui di semua pertambangan tanah air baik di komoditas mineral maupun batu bara. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, jumlah pengangsir tersebut sudah mencapai 2.741 lokasi dengan pekerja kurang lebih mencapai 37 juta orang.
Selain jumlahnya yang cukup banyak, modus operandi PETI yang beragam juga kerap membuat kewalahan para penegak hukum. Hal ini dirasakan juga oleh Kementerian ESDM selaku institusi pemerintah yang membuat kebijakan seputar pertambangan.
“Dia akan tetap kucing-kucingan denga aparat dan pemerintah. Ini karena masih adanya keterbatasan lapangan kerja. Kalau ini tuntas, semoga PETI ini juga tuntas” kata Inspektur Tambang Ahli Madya Kementerian ESDM, Antonius Agus Setijawan dalam diskusi ‘Berantas Tuntas Pertambangan Tanpa Izin’, Kamis (28/7).
Menurutnya, pemberantasan PETI masih terkendala oleh beberapa hal seperti ada dugaan aliran modal kepada pelaku PETI, keterlibatan oknum atau orang kuat, lokasi yang sangat sulit diakses, memanfaatkan kesempatan karena tidak ada pengawasan dan lain-lain.
“Pelaku merupakan masyarakat kecil yang terdesak kebutuhan untuk hidup dan kerap melibatkan anggota keluarganya,” bebernya.
Di sisi lain, terdapat juga kegiatan-kegiatan pendukung sehingga aktivitas PETI menjadi mudah dan lancar seperti adanya penjualan bahan bakar, adanya sewa alat berat dan peredaran bahan kimia.
“Sewa alat berat ini juga (berpengaruh). Kalau misalnya penggunaan alat berat di daerah, terarah untuk pembangunan jelas pihak yang bertanggung jawab, jelas memudahkan, kalau ada pembatasan-pembatasan akan menimbulkan keresahan bagi sebagian masyarakat terhadap usaha-usaha seperti ini,” papar Antonius.
Penggunaan alat berat sebagai piranti penggasakan lebih sering dilakukan PETI di komoditas batu bara. Mereka secara terang-terangan mengeruk batuan hitam secara terstruktur dan masif apalagi saat harga sedang bagus.
“Itu sudah biasa karena ada disparitas harga. Sering kali terjadi seperti itu apalagi saat harga sedang bagus. Nilai kerugian peti lebih masif di batubara ketimbang komoditas mineral meski di mineral lebih banyak petinya. Di batu bara menggunakan alat-alat berat sementara di mineral secara tradisional,” kata Direktur Ekskutif APBI, Hendra Sinadia.
Menurut Hendra, pencurian batu bara tidak hanya dilakukan di konsesi IUP perusahaan, tapi juga sering digarong di atas tongkang dan jumlahnya tidak sedikit.
“Pencurian juga dilakukan di atas tongkang dan jumlahnya tidak sedikit. Potensi kerugian negara jugha tidak kecil,” paparnya.
Hendra kemudian menyampaikan sejauh ini penanganan dan penertiban PETI masih dilakukan oleh aparat keamanan termasuk mengakomodir mereka menjadi bagian dari perusahaan tambang pelat merah atau dijadikan sebagai pertambangan rakyat (IPR).
“Keinginan pemberantasan PETI tidak saja datang dari pemerintah tapi juga datang dari pelaku usaha. Beberapa penertiban PETI di batu bara cukup intens oleh aparat keamanan,” ujarnya.
Kendati demikian, Hendra menyarankan agar pemerintah membuat semacam satuan tugas penegakkan hukum khusus untuk menangani PETI sebagaimana sudah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Saya kira banyak upaya yang dilakukan salah satunya peti diakomodir oleh perusahaan pelat merah. Kalau perlu di Kementerian ESDM membuat satgas penegakkan hukum khusus untuk PETI seperti yang dilakukan oleh kementerian KLHK,” tandasnya.