Beranda CSR Lampu Gas Batavia

Lampu Gas Batavia

Repro Majalah Tambang Edisi 98/Agustus 2013

CIKAL bakal Perusahaan Gas Negara (PGN) berawal dari lampu gas untuk penerangan, yang mulai hadir pada 4 September 1862. Lampu itu menyala di Rijswijk Batavia, kediaman Gubernur Hindia Belanda Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele ketika itu. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Istana Negara.

 

Lampu itu diupayakan oleh perusahaan gas L.I Eindhovn & Co –sebagian lainnya menulis sebagai LJ Enthoven. Perusahaan asal Den Haag, Belanda, ini berkantor di Gang Ketapang. Saat ini jalan KH Zainul Aririn, Jakarta Pusat. Endhoven menyediakan fasilitas pabrik gas dan lampunya.

 

Setelah berhasil menggunakan lampu gas di Istana Negara, beberapa jalan di wilayah Jakarta dan Buitenzorg (kini Bogor) mulai 1 Oktober 1862 dipasangi lampu. Sumber gas itu dihasilkan dari batu baram yang diangkut dari stasiun Duri, Tambora, Jakarta-Barat.

 

Depan rumah pelukis tenar Raden Saleh di Cikini, Jakarta Pusat, pada malam hari sering menjadi tempat berkumpul masyarakat karena ada lampu penerangan yang “menakjubkan” itu. Tempat tinggal Raden Saleh kini dikenal sebagai pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki.

Situs Pemerintah DKI Jakarta, www.jakarta.go.id menyebutkan, LI Eindhoven mendapat konsensi penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur) oleh Pemerintah Belanda selama 20 tahun, sejak November 1859. Proyek gas diselesaikan tahun 1861.

 

Lampu gas menggunakan pembakar, cahayanya merah seperti kipas, memakai semprong dan sumbu. Gas hasilnya kemudian dialirkan ke rumah-rumah untuk memasak. Pabrik gas terletak di Gang Ketapang, mempergunakan bahan bakar arang.

 

Gang Ketapang, yang kini menjadi salah satu kawasan macet di Jakarta, awalnya merupakan nama jalanan sempit di Batavia yang kemudian menjadi Jl. KH Zainul Arifin. Di utara gang terdapat gedung Perusahaan Gas Belanda.

 

Pabrik gas tersebut dibangun tahun 1862, bahannya batu arang (steenkool) yang dibakar. Dalam promosinya dikemukakan, semua penduduk boleh memakai penerangan gas dengan tarif 2 sen/jam, asal beli lampu di pabrik itu. Belakangan aturan itu diubah. Pelanggan membayar gas yang dipakainya dengan harga 18 sen/meter kubik.

 

Penerangan dengan lampu gas hanya terdapat di Batavia, Semarang, Surabaya dan Bogor. Saat itu kota-kota kraton, seperti Solo dan Tenggarong, telah menikmati penerangan listrik.

 

Dari Sawah Besar dan Gang Ketapang, semuanya kini masuk Jakarta Pusat, semua lentera dinyalakan  dengan loeilicht-lampu pendar. Tetapi dari Gang Ketapang ke kota lama, masih menggunakan lampu dari karbit. Sedang di kampung Cina jalan-jalannya masih  memakai lampu minyak tanah, belum diberi penerangan gas. Hal ini menimbulkan keluhan, karena gubernemen bersifat pilih kasih. Padahal orang Cina membayar pajak lebih besar dari orang Eropa.

 

Masalah lampu jalan juga mengundang ketegangan antara perusahaan gas dengan gubernemen. Pernah polisi menemukan 14 lentera gas di Gang Ketapang hingga jembatan Mangga Besar yang tidak menyala. Hal ini diadukan kepada residen, dan pabrik gas didenda 25 gulden untuk setiap lentera yang tidak dipasang. Dengan berat hati, pabrik gas mengeluarkan 350 gulden untuk membayar denda itu.

 

Setelah kejadian itu, polisi juga menetapkan aturan baru, mulai 1 Januari 1903 lentera-lentera gas harus dinyalakan setiap malam, kendati terang atau gelap bulan, sampai pukul 21.0. Lewat pukul 21.00 semua lentera gas bertanda warna merah boleh dimatikan.

 

Tahun 1863, L.I Eindhoven & Co diambil alih perusahaan gas negara Belanda, NV Nederlandsch Indische Gas Maatschappij, hingga tahun 1950. Dari 1950 sampai 1958, perusahaan ini dikenal dengan nama NV The Netherlands Indies Gas Company –Perusahaan Gas dan Listrik Luar Negeri Hindia Belanda.

 

Pada 1958, pemerintah Indonesia menasionalisasi NV OGEM, mengubah namanya menjadi  Badan Pengambil Alih Perusahaan-Perusahaan Listrik dan Gas (BP3LG). Statusnya menjadi BPU PLN pada tahun 1961. (Sumber: Majalah TAMBANG edisi 98/Agustus 2013