Jakarta-TAMBANG. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa ada indikasi, para kepala daerah yang memiliki wilayahnya memiliki potensi kekayaan migas mendapatkan jatah dari eksplorasi minyak dan gas yang berada di daerah kekuasaanya. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto mengatakan, indikasi itu berdasarkan hasil koordinasi yang dilakukan KPK yan menemukan informasi adanya jatah atau bagi hasil yang diterima kepala daerah.
Menurut Bambang, berdasarkan kasus yang ditangani KPK saat ini, seperti kasus Ketua DPRD Bangkalan dan kasus lainnya, ditemukan ada indikasi kepala daerah mendapatkan bagi hasil dari hasil Migas tersebut.
“Kami contohkan, kasus Bangkalan, yang kita lakukan koordinasi. Dalam koordinasi kami temukan satu informasi ternyata di semua daerah yang ada eksplorasi Migasnya, ada istilah ‘bagi hasil’ semacam jatah Pemda yang diberikan perusahaan yang melakukan eksplorasi,” kata Bambang, Senin kemarin (29/12).
Ditambahkan Bambang, yang menjadi masalahnya sampai saat ini adalah, bagi hasil tersebut diatur dalam ketentuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
“Tidak hanya di situ saja. Di semua temuan ada ketentuan yang mengatur mengenai itu yaitu ketentuan SKK Migas,” sebutnya.
Pihak KPK, kata Bambang, sudah minta supaya hal itu dikaji ulang karena semua bisa jadi potensi yang mempunyai atau sedang dieksplorasi sumber daya alamnya. Sehingga harusnya ada empat atau lima pihak yang diperiksa dalam praktik dugaan korupsi menyangkut sektor Migas.
“Pertama dari yang melakukan ekspolrasi, kedua Pemda yang mendapat jatah alokasi dari eksplorasi itu, ketiga apakah ada BUMD yang terlibat. Keempat apakah ada korporasi yang terlibat, dan kelima itu disalurkan ke mana? Lima circle itu yang menjadi potensi masalah,” terangnya.
Lebih lanjut dikatakan Bambang, saat ini KPK juga sudah menyelesaikan kajian mengenai Migas dan menemukan 13 titik kelemahan. Di antaranya adalah, pertama, ketika lifting (produksi minyak mentah) diambil, jumlah yang diambil dan harus dilaporkan ke negara itu belum pakai alat canggih sehingga bisa ada gap.
Kedua, minyak itu dibawa ke kapal menuju titik yang akan diserahterimakan juga bisa menjadi masalah karena jumlah tonasenya tidak jelas, yang diambil berapa yang diserahkan berapa.
“Hasil kajian ini sudah kita sampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, SKK Migas dan tim reformasi tata kelola minyak dan gas yang baru dibentuk pada November 2014 lalu,” ujarnya.