Beranda Komoditi Kontrak Digantung, Freeport Tetap Pede Bangun Smelter Tembaga

Kontrak Digantung, Freeport Tetap Pede Bangun Smelter Tembaga

  • Freeport tetap bangun smelter meski harga tembaga anjlok
  • Cepat tidaknya pembangunan tergantung dari perpanjangan kontrak pasca 2021
  • Dalam dokumen kontrak karya 1991, Freeport diwajibkan bangun smelter apabila kebutuhan tembaga di dalam negeri meningkat
  • Kebutuhan impor tembaga pada 2020 mencapai 0,16 juta ton dan 0,58 juta ton pada 2025

 

Jakarta-TAMBANG. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport Indonesia sedang mengalami masa-masa genting. Menjelang berakhirnya kontrak mereka pada 2021 mendatang, pemerintah Indonesia justru meminta Freeport membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga di dalam negeri. Permintaan itu menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila Freeport ingin melanjutkan operasi di Indonesia.

 

Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama mengatakan pihaknya berkomitmen untuk menambah investasi di dalam negeri termasuk investasi di sektor hilir. Ia mengklaim saat ini tingkat kemajuan pembangunan smelter yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur sudah mencapai sekitar 16%. Namun Riza tidak bisa merinci secara detail apa saja yang sudah dikerjakan dalam proyek smelter itu.

 

“Kami tentu komitmen membangun walaupun proyek ini sebetulnya tidak ekonomis. Investasi yang kami berikan mencapai US$ 2,3 miliar,” kata Riza kepada Majalah TAMBANG, Senin sore kemarin (9/11).

 

Ia menambahkan rencana investasi itu tidak akan berhenti meskipun harga tembaga di pasaran anjlok. Namun Riza berharap pemerintah tetap memberikan insentif kepada Freeport berupa pengurangan pajak dan kewajiban pembayaran lain sebagai penghargaan atas keseriusan mereka.

 

Sebagai informasi, pada pekan lalu, di bursa saham Cina harga tembaga kembali anjlok setelah sempat mengalami rebound. Pada penutupan di akhir pekan, harga tembaga untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) terkoreksi 1,1% menjadi US$ 5.080 per ton. Bukan hanya tekanan harga, Freeport juga akan mendapatkan tantangan dengan nilai saham mereka yang fluktuatif. Harga saham Freeport McMoran (FXC) turun ke level 10,49 dari 10,80.

 

Kenyataan itu, kata Riza tak menyurutkan niat Freeport menyelesaikan proyek smelter secepat mungkin. Maka dari itu menurutnya, untuk merealisasikan investasi tersebut, kepastian hukum berupa perpanjangan operasi produksi tambang di Papua harus segera diteken pemerintah.

 

“Mana mungkin kami melanjutkan investasi smelter kalau nanti belum dapat kepastian perpanjangan. Sebab untuk mengoperasikan smelter pasokan konsentrat harus dari tambang di Papua,” ujarnya.

 

Menteri ESDM, Sudirman Said sebelumnya juga menyatakan  pemerintah akan tetap mendorong Freeport untuk melanjutkan investasi mereka, baik di proyek smelter ataupun tambang bawah tanah. Secara tak langsung Sudirman memberikan sinyal bahwa Freeport akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan operasinya sampai 2041. Namun perizinan itu tidak bisa diterbitkan sekarang karena terhalang beleid yang berlaku.

 

Dalam kontrak karya yang diteken 1991, Freeport Indonesia sebetulnya memang sudah diwajibkan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Namun kewajiban itu bisa luluh dengan sendirinya apabila ada badan usaha lain di dalam negeri yang sudah membangun pabrik. Tahun 1997, smelter tembaga pertama dibangun di Gresik, Freeport memiliki porsi saham sebesar 40%.

 

Sejak saat itu, Freeport  selalu menjual konsentrat tembaga mereka pada PT Smelting Gresik, sementara sisanya diekspor. Menurut data Kementerian ESDM, kebutuhan tembaga di dalam negeri diprediksi akan mengalami peningkatan dalam lima tahun mendatang. Jumlahnya mencapai 0,94 juta ton per tahun. Jika hanya mengandalkan produksi Smelting Gresik, pemerintah harus mengimpor tembaga sebesar 0,16 juta ton. Jumlah itu bertambah pada 2025 menjadi 0,58 juta ton.

 

Jika mengacu pada data tersebut, Freeport Indonesia tak bisa lagi mengelak dari kewajiban membangun smelter. Pasalnya dalam dokumen kontrak karya 1991, kewajiban membangun smelter akan semakin kuat apabila kebutuhan tembaga di dalam negeri semakin meningkat pesat.