Jakarta, TAMBANG – Harga Minyak dunia tertekan akibat pandemi virus Corona. Dua hari lalu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat minus.
Menanggapi hal tersebut, Eks Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyampaikan komentarnya lewat akun media sosial instagram.
“Merespon berbagai pertanyaan dari pada sahabat instagram, kami ingin coba membahas jatuhnya harga minyak di Amerika Serikat dan implikasinya ke harga ritel,” ungkapnya melalui akun @arcandra.tahar, Selasa (22/4) tengah malam.
Menurutnya, faktor utama WTI jatuh karena media penyimpanan minyak alias storage milik Amerika Serikat penuh. Tidak ada lagi ruang untuk menampung produksi minyak yang kini kapasitasnya sekitar 12-13 juta barel per hari.
Di saat bersamaan, ketika transaksi perdagangan akan ditutup untuk pengantaran bulan Mei, hanya sedikit yang melakukan trading. Permintaan minyak sepi, sehingga harga terus menurun sampai minus.
“Dan harga ini belum tentu mencerminkan harga yang sebenarnya,” tuturnya.
Jika harga minyak di Amerika Serikat menyentuk nol dolar per barel, apakah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Strasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi gratis ?
“Tentu tidak,” bebernya.
Berdasarkan data tahun lalu, sambung Arcandra, struktur harga BBM di SPBU Amerika Serikat per gallon ditentukan oleh beberapa komponen. Meliputi biaya transportasi dan pemasaran sebesar USD 39 sen, biaya penyulingan sebesar USD 34 sen, dan biaya pajak sebesar USD 44 sen.
“Total akan diperoleh angka USD 1,27 per gallon. Dengan tambahan margin di SPBU sekitar USD 10 sen per gallon, maka harga jual BBM sebesar USD 1,37 per gallon atau setara USD 0,36 sen per liter,” jelasnya.
Bila dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 15 ribu per dolar, maka angkanya Rp 5.422 per liter. Tapi, perhitungan ini bisa berkurang tergantung pada jarak angkutan dan pajak di masing-masing wilayah.
“Untuk beberapa negara bagian, biaya transportasi pemasaran dan pajak bisa lebih rendah dari angka di atas,” beber Ancandra.
Lebih lanjut, ia menjabarkan tentang potensi harga minyak yang bakal melonjak tajam pada tahun depan, dengan asumsi pandemi Covid-19 sudah mereda.
Kenaikan tersebut dipicu oleh tumbuhnya permintaan minyak seiring kondisi ekonomi yang kembali menggeliat. Sementara itu, produsen minyak saat ini terus melakukan pemangkasan produksi.
“Amerika Serikat akan memangkas produksi minyaknya dari 12,7 juta barel per hari menjadi di bawah 11 juta barel per hari, atau sekitar 10,5 juta barel per hari. Jika Amerika Serikat menurunkan produksinya hingga 2,2 juta barel per hari dan OPEC+ juga akan memangkas produksi 9,7 juta barel per hari. Maka ketika permintaan minyak dunia akan naik di tahun 2021, harga kemungkinan akan naik tajam,” ulasnya.
Kenaikan harga secara drastis, kata Arcandra, semakin berpotensi terjadi karena selama lima tahun terakhir tidak banyak proyek eksplorasi konvensional yang dikembangkan di seluruh belahan dunia.
“Karena itu penting sekali mengembangkan strategi yang tepat agar jatuhnya harga minyak saat ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan di masa depan,” pungkasnya.