Jakarta-TAMBANG. Sampai saat ini nasib revisi UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi belum ada kejelasan. Padahal revisi UU Migas telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Oleh karena belum terlihatnya kemajuan pembahasa revisi UU Migas tersebut sembari melihat pentingnya revisi UU yang menjadi dasar hukum kegiatan hulu ini Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak DPR untuk segera menyelesaikannya.
Perlu diingat bahwa agenda RUU Migas tahun ini merupakan tahun ke-3 (tiga) bagi DPR RI periode 2014-2019 sekaligus menandai 12 (dua belas) tahun pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Nomor 21/2001 tentang Migas dan 4 (empat) tahun pasca terbitnya putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas.
Fabby Tumiwa, Ketua Badan Pengarah PWYP Indonesia menilai sampai saat ini belum ada perkembangan apa pun yang signifikan dari pembahasan RUU Migas. Padahal menurutnya percepatan pembahasan RUU Migas bukan hanya karna putusan-putusan MK yang membatalkan beberapa pasal UU Migas terdahulu, tetapi terkait dengan berbagai persoalan yang menuntut solusi yang sistemik. Beberapa persoalan tersebut diantaranya kebijakan energi nasional yang belum mendukung visi kedaulatan energi, praktik-praktik mafia migas, inefisiensi biaya operasional serta dampak penurunan harga minyak mentah dunia yang mencapai titik terendah tahun ini.
”Akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan,”terang Faby yang juga Direktur Eksekutif, Institute for Essential Service Reform (IESR).
Setidaknya jelas Faby ada beberapa isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances; Badan Pengawas, BUMN Pengelola, Petroleum Fund, Domestic Marker Obligation (DMO), Dana Cadangan, Cost Recovery, Participating Interest (PI), Perlindungan atas Dampak Kegiatan Migas, serta Reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi.
Sementara itu Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia menilai reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi menjadi sangat krusial untuk menjamin pemenuhan hak-hak atas informasi publik. Transparansi keterbukaan Kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting, data penjualan dan dokumen AMDAL harus dibuka sebagai bentuk pemenuhan hak informasi publik. “Selain itu, RUU Migas harus memberikan jaminan ruang partisipasi untuk terlibat dalam setiap tahapan pengelolaan sektor migas di Indonesia yang nyaris tidak terpenuhi”terang Aryanto.
Dengan itu pembahasan RUU Migas menjadi semakin urgent di tengah berbagai inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mendorong reformasi perbaikan tata kelola sektor migas seperti Koordinasi dan Supervisi Bidang Energi (Korsup Energi) yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), reformasi perizinan migas di ESDM dan BKPM ataupun follow up atas rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM).
“Inisiatif-inisiatif tersebut harus didukung dengan reformasi payung hukum melalui pembahasan RUU Migas di DPR.” imbuh Aryanto.
Ahmad Hanafi, Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC) menerangkan jalan di tempatnya pembahasan RUU Migas semakin melengkapi buruknya kinerja legislasi DPR yang sepanjang tahun 2015 hanya menyelesaikan 3 UU.
“RUU Migas seolah hanya menjadi ‘pajangan manis’ dalam setiap Prolegnas yang disusun oleh DPR tanpa ada usaha apa pun untuk sekedar membahasnya. Hal ini makin diperburuk dengan tidak diagendakannya RUU Migas sebagai salah satu RUU yang akan diselesaikan DPR pada masa sidang ke V tahun 2015-2017. ”
Ahmad pun menilai pengalaman tahhun lalu menjadi pelajaran yang luar biasa dimana pembahasan RUU Migas di DPR nyaris tanpa kabar. “Lambannya pembahasan RUU Migas di DPR kami duga sarat dengan tarik ulur kepentingan. Kita harus ingat bahwa sektor migas adalah sektor strategis. Banyak pihak yang kemungkinan besar ikut bermain. Karenanya, pemerintah dan DPR harus benar-benar kawal dan pastikan pembahasan Revisi UU Migas bebas dari mafia pemburu rente yang menunggangi agenda ini,”tandas Hanafi.
Oleh karenanya menurut Ahmad RUU Migas akan selesai apabila DPR menunjukkan sikap kenegarawanannya dengan melepas kepentingan politik maupun ekonomi di belakangnya. “Sudah saatnya, DPR maupun Pemerintah menunjukkan perbaikan kinerja legislasinya dengan segera membahas RUU Migas ini. Harus diingat juga, agenda penyelesaian Revisi UU Migas merupakan salah satu komitmen Pemerintahan Jokowi-JK atas program aksi agenda Nawa Cita terkait perbaikan tata kelola migas,” tambahnya.
Di tempat yang sama Berly Martawardaya, dosen Ekonomi Energi dan Mineral Fakultas Ekonomi Universitast Indonesia (FE-UI) menilai kondisi saat ini ditengah jatuhnya harga migas, terus menurunnya produksi migas dan berkurangnya investasi sektor migas di Indonesia, maka perlu perubahan nyata pada tata kelola migas Indonesia.
“Pembahasan RUU migas adalah suatu kegentingan yang tidak boleh ditunda lagi. Tentunya pembahasan RUU Migas tersebut harus dilakukan dengan mengacu pada best practice internasional, kepentingan nasional (national interest) dan konsultasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membangkitkan kembali sektor migas Indonesia yang sedang terpuruk.”terangnya.