Jakarta,TAMBANG,- Batu bara masih menjadi sumber energi andalan Indonesia dan beberapa negara di dunia. Di sisi lain harus diakui bersama masyarakat global, Indonesia pun berkomitmen untuk menekan emisi karbon demi mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Hal ini kemudian memunculkan gerakan untuk segera mengakhiri pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi. Pemerintah Indonesia pun telah mencanangkan program pensiun dini sebagai jalan untuk mencapai target NZE.
Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengingatkan potensi batu bara Indonesia masih sangat besar dan harus dimanfaatkan. Ia dengan tegas mengatakan NZE tidak berarti tidak sama sekali menggunakan batu bara. “Net Zero Emissions tidak berarti zero coal. Nett Zero Emission tetap diupayakan namun batu bara pun harus tetap dimanfaatkan,”terang Rachmat dalam diskusi bertajuk Masa Depan Batu bara Di Tengah Tren Transisi Energi di Jakarta (13/6).
Ia melihat selama ini yang terjadi semua hanya fokus pada batu bara sebagai salah satu sumber energi fosil dan penyumbang emisi. Tidak banyak yang menaruh perhatian pada penggunaan batubara. “Kenapa regulasi yang muncul tidak diarahkan ke PLTU sebagai pengguna batu bara. Sebut saja tahun ke sekian harus sudah memasang carbon capture, tahun ke sekian harus dipasang sulfur capture-nya dan lainnya,”tandasnya.
Dengan kata lain yang harus didorong adalah bagaimana agar batu bara bisa lebih bersih diantaranya dengan pemanfaatan teknologi. Rachmat kemudian mengkritik fenomena kampanye yang selama ini gencar mendorong pensiun dini batu bara karena malah akan menghambat inovasi dari sisi teknologi untuk membuat batu bara lebih bersih.
“Saya kira ketika semua bilang teknologi mahal, ya kembali lagi ke soal pasar. Seluruh dunia termasuk Indonesia sangat kencang menyuarakan akan menutup PLTU. Jika ini terus digaungkan sementara PLTU masih dibutuhkan dan bisa dikembangkan secara bersih maka pasar batu bara akan makin menyusut. Penyedia teknologi juga tidak akan mau ngabisin waktu melihat kajian teknologi terbaik dan murah untuk batu bara. Karena marketnya dianggap hilang,”terangnya.
Oleh karenanya Ia mendorong semua pihak untuk kembali menyampaikan bahwa kita akan pakai batu bara dan kita akan buat batu bara itu bersih. Ini akan membuat perusahaan penyedia teknologi kembali akan beramai-ramai melakukan riset dan berkompetisi sehingga kita pun bisa mendapatkan teknologi yang lebih murah.
“Coba bayangkan 10 atau 15 tahun lagi PLTU tidak punya emisi karena sudah ditangkap. Pembakaran sebelum dikeluarkan sulfurnya diambil, kemudian nox carbon ditangkap. Sehingga tidak punya emsisi. Kemudian kapal yang mengangkut batu bara ke Jawa atau kemana pun itu adalah kapal listrik yang berasal dari PLTU yang sudah bersih. Truk di tambang sudah berasal dari listrik,”ungkapnya.
Belum lagi dari sisi tata kelola lingkungan, dilakukan dengan baik sesuai kaidah pertambangan yang baik dan benar. Semua lahan bekas tambang direklamasi dengan baik. Jika semua itu sudah terjadi maka batu bara tidak akan menjadi isu lagi terkait dengan emisi. “Kalau itu yang terjadi maka negara yang paling diuntungkan adalah Indonesia. Negara yang paling dirugikan ketika mematikan batu bara adalah Indonesia. Ini kalau dilihat dari aspek politik ekonomi,”tandas Rachmat.
Menurut Rachmat produk-produk dari Cina dan India saat ini menguasai pasar global karena dikenal lebih murah. Salah satu yang membuat produk kedua negara ini lebih murah karena masih lebih banyak menggunakan batu bara sebagai sumber energi.
Namun Rachmat menegaskan bahwa upaya untuk terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan tetap dilakukan. “Kita tetap mengejar pengembangan EBTKE, di sisi lain batubara yang kita miliki tetap dimanfaatkan sambil terus mencari jalan batu bara bersih,”ungkapnya.
Sementara sebelumnya Ilham Habibie dalam sambutannya menegaskan aspek energi menjadi satu tema besar dari setiap pemerintahan. “Kalau kita lihat agenda tiap periode pemerintahan tidak hanya di Indonesia tetapi di mana saja selalu ada di tiga tema besar yakni ketahanan Energi, Ketahanan pangan dan Industri,”terang Ilham.
Dari aspek ketahanan energi yang akan didorong adalah memiliki energi dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau dan berkesinambungan.
Menurutnya Indonesia dan banyak negara di dunia masih mengandalkan energi berbasis fosil atau penghasil hidrokarbon yakni batu bara dan migas. Namun bersama masyarakat global, Indonesia juga menghadapi tantangan lain yakni perubahan iklim, dekarbonisasi dan NZE.
Hal yang penting adalah bagaimana melakukan transisi. Jika langsung menghilangkan batu bara tentu tidak realistis. Masih banyak Industri yang menggunakan energi yang sangat intensif seperti industri baja dan lainnya. Sumbernya sebagian besar masih berasal dari batu bara.
Oleh karenanya yang harus terus didorong adalah melakukan upaya untuk menemukan jalan tengah untuk hal ini. “Buat negara kita yang memang kalau dilihat dari energy mix masih lebih dari 50% masih dari batu bara tentu tidak mudah untuk segera meninggalkan batu bara. Itu yang disebut dengan trilemma energi yakni harus affordable, available dan harus sustainable sekaligus. Itu tidak mudah,”tutupnya.