Beranda ENERGI Migas Kerjasama Pertagas dan PGN Butuh Komitmen Bersama

Kerjasama Pertagas dan PGN Butuh Komitmen Bersama

Jakarta-TAMBANG. Salah satu saat ini sedang ramai diperbincangkan terkait gas adalah kerja sama antara PT Perusahaan Gas Negara,Tbk (PGN) dengan anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bergerak di sektor gas, PT Pertagas. Sebagian kalangan menilai kerja sama dua perusahaan yang menguasai infrastruktur gas ini akan membantu mendorong efisiensi penyaluran gas ke konsumen rumah tangga dan industri.
Oleha karenanya langkah untuk mendorong pembentukan Komite Bersama (joint commite) sebagai langkah yang tepat. Dan tidak ada alasan bagi para pihak untuk menolak rencana tersebut karena sudah disetujui Kementrian BUMN.
Pengamat Migas Firlie Ganinduto, mengatakan Pertagas dan PGN harus memiliki komitmen bersama bahwa kesepakatan itu demi kepentingan nasional, yaitu makin banyaknya volume gas yang tersalurkan ke konsumen dengan harga murah. Kerja sama operasi Pertagas dan PGN juga dinilai bagus karena kondisi saat ini menyebabkan dua BUMN yang bergerak pada bisnis yang sama, dibiarkan terus bersaing.
“Daripada merger atau take over yang  butuh proses lama, joint operation melalui mekanisme joint committee sangat bagus dan solusi yang win-win,” ujar Firlie di Jakarta, Senin (4/1).
Menurut Firlie, joint committee bukan hanya formalitas, tapi juga butuh komitmen  dalam pelaksanaannya. Dan untuk itu Firlie menilai pemerintah mungkin sudah punya pemikiran, menggabungkan Pertagas  yang 100% BUMN dan PGN yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah, perlu proses lama. Sementara persoalan penyaluran gas, termasuk soal open access,  butuh keputusan yang cepat.  “Joint committee adalah pilihan yang pas dan bijaksana dari pemerintah,” katanya.
 
Di tempat lain Berly Martawardaya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia dengan tegas mendukung langkah Kementerian BUMN yang mendorong pembentukan joint committee Pertagas dan PGN di bawah kendali Kementerian BUMN karena kondisi saat ini tidak optimal bagi kedua perusahaan.
Meski demikian ke depan,  Berly mengusulkan tiga opsi terkait dua perusahaan tersebut. Pertama, dibiarkan seperti sekarang. Kedua, kerja sama sebagai dua badan terpisah. Ketiga, PGN dan Pertagas digabung. “Kondisi sekarang tidak optimal, jadi sambil mengkaji opsi penggabungan, kerja sama dan sinergi dulu,” katanya.
 
Jika dilihat sejauh ini Pertagas sudah membuka diri dengan memberikan fasilitas pipa gas untuk open access bahkan diperkirakan  lebih dari 90% dari keseluruhan infrastrukturnya. Berbeda dengan PGN yang dari data yang ada terlihat masih belum banyak yang diberikan, baru sekitar 40%.
Oleh karenanya ada sebagian kalangan yang menilai bahwa PGN masih setengah hati dalam menerapkan kebijakan open access karena sejumlah ruas pipa distribusi perseroan masih tertutup (dedicated) dan digunakan untuk kepentingan sendiri. Padahal, kebijakan open acess gas sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009.
Dalam aturan itu dinyatakan, dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa, badan usaha wajib memakai pipa transmisi dan distribusi yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan bersama (open access) pada ruas transmisi dan wilayah jaringan distribusi tertentu. Berdasarkan Permen ESDM tersebut, Dirjen Migas Kementerian ESDM mengeluarkan surat perintah pada 2011 agar seluruh pipa gas harus open access.
Di wilayah Sumatera Utara, seluruh pipa Pertamina Gas dialokasikan untuk open access. Pipa gas tersebut menyebar di Lhokseumawe dan Arun di Nanggroe Aceh Darussalam hingga Belawan dan Langkat di Sumatera Utara dengan panjang pipa hampir 500 kilometer. Pertamina Gas menguasai pipa transmisi, terutama untuk jalur pipa Arun-Belawan.
Di wilayah yang sama, PGN hanya memberikan alokasi open access untuk kawasan Medan, Binjai, dan Deli Serdang. Sedangkan untuk pipa distribusi gas di wilayah Medan, seluruhnya dikuasai (dedicated) perseroan. Total pipa yang dimiliki PGN di wilayah ini sekitar 620-an kilometer.
Di wilayah Sumatera Tengah-Selatan, hampir 500 kilometer pipa Pertamina Gas dialokasikan seluruhnya (100%) untuk open access. Pipa ini menyebar dari Muara Enim, Prabumulih, Ogan Ilir, dan Palembang. Adapun PGN memiliki pipa terbesar, yaitu  sekitar 2.200-an kilometer. Namun, hanya empat jalur pipa yang open access, yaitu pipa Sout Sumatera West Java (SSWJ) I dan SSWJ 2 dan TGI Grisik-Duri dan TGI Grisik-Singapura. Dua jalur pipa lainnya, yaitu pipa distribusi Pekanbaru dan distribusi Batam dan Kepulauan Riau tidak open access aliasdedicated untuk perseroan.
Di wilayah Jawa bagian Barat, Pertamina Gas memiliki pipa sepanjang 529 kilometer. Perseroan menguasai infastruktur pipa transmisi dan regasifikasi. Tujuh jalur pipa merupakan open access, yaitu Tangerang, Bekasi, Bogor, Karawang, Indramayu, Subang, dan Mundu-Cirebon. Hanya satu jalur distribusi gas, yaitu Bekasi yang dedicated perseroan. Sedangkan PGN, untuk wilayah yang sama, 100% dedicated perseroan, dan tidak open access, yaitu wilayah distribusi Jabar sepanjang 2.220 kilometer.
Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur,  Pertamina Gas juga memberi kesempatan open access. Ini terbukti dari 430-an kilometer ruas pipa yang dimiliki perseroan,  dua ruas, yaitu Sumenep-Sidoardjo dan Sidoarjo-Surabaya-Gresik open access.  Hanya distribusi Sidoarjo yang dedicated perseroan.  Di wilayah ini, perseroan memiliki kekuatan jaringan melalui pembagunan pipa transmisi Semarang-Gresik dan memiliki alokasi gas dalam jumlah besar.
Di wilayah ini, PGN paling parah dari sisi keterbukaan akses pipa gasnya. Sebanyak 100% pipa perseroan dedicated dan  sama sekali tidak memberikan open access. Padahal, panjang pipa gas perseroan di ruas ini mencapai 697 kilometer, meliputi pipa distribusi Surabaya-Gresik, pipa distribusi Sidoarjo-Mojokerto, dan pipa distribusi Pasuruan-Probolinggo.