Jakarta,TAMBANG – Pemerintah terus berkomitmen untuk mempercepat pencapaian Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat. Di sektor energi, salah satu upayanya mendorong porsi kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi lebih besar daripada porsi pembangkit dari energi fosil.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN teranyar tahun 2021-2030, memberikan porsi lebih besar bagi pembangkit EBT, yakni 52 persen, dibandingkan pembangkit energi fosil yang hanya 48%. Sehingga, RUPTL ini disebut “RUPTL Hijau”.
“Dalam RUPTL kita sama-sama paham kalau 52% dari pembangkit kita itu basisnya adalah EBT,” ujar Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana, dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor Ketenagalistrikan Tahun 2022 dan Capaian Tahun 2023, Selasa (31/1).
Maka dari itu, pada rencana pengembangan pembangkit nasional ke depan, tegas Dadan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dibangun hanyalah PLTU yang sudah ditetapkan dalam RUPTL sebelum berlakunya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Kita sudah memastikan bahwa tidak ada lagi PLTU baru, kecuali yang sudah ditetapkan dalam RUPTL sebelum berlakunya Perpres 112 Tahun 2022,” ujar Dadan.
Selanjutnya, Dadan menjelaskan pengembangan PLTU baru diperbolehkan apabila terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam seperti smelter atau PLTU yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.
“Syarat yang kedua adalah dalam 10 tahun, harus menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), kan kalau PLTU dari batubara, harus menurukan emisi sebesar minimal 35% dan 35% ini cukup berat, ini adalah angka di mana Pemerintah dan seluruh stakeholder berkomitmen untuk terus melakukan upaya penurunan emisi GRK, ini pun menjadi syarat utama untuk mendapatkan pengecualian pembangunan PLTU,” terang Dadan.
Adapun syarat yang ketiga, lanjut Dadan, adalah beroperasi paling lama sampai tahun 2050. “Jadi kalau tahun 2030, ya 20 tahun kemudian harus istirahat atau pensiun,” imbuhnya.
Berdasarkan RUPTL 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit adalah 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBT sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%.
Berdasarkan jenis pembangkitnya, pembangkit dengan sumber EBT terbesar adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air/Mikro/Mikrohidro (10,391 GW), kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (4,68 GW), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (3,355 GW), PLT EBT Base (1,01 GW), lalu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (0,597 GW), PLT Bio (0,590 GW), dan BESS (0,3 GW).
Sementara untuk pembangkit dengan sumber energi fosil, PLTU menempati porsi terbesar dengan 13,819 GW, kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Uap/Gas Uap/Mesin Gas dengan 5,828 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dengan 5 Megawatt (MW).
Berdasarkan jenis pengembang, Independent Power Producer (IPP) mengambil porsi terbesar untuk pengembangan pembangkit hingga tahun 2030, yakni 26,006 GW atau 64%, kemudian PLN sebanyak 14,269 GW atau 35%, dan kerja sama antar wilayah usaha sebesar 300 MW atau 1% saja.
Dadan juga mengungkapkan bahwa saat ini pembahasan teknis untuk meninjau kembali RUPTL 2021-2030 sudah dimulai. Menurutnya, jika memang dipandang perlu adanya perubahan RUPTL, maka akan dilakukan revisi, dengan tidak menurunkan target pembangunan pembangkit.
“Sekarang sudah mulai pembahasan teknis untuk mereview RUPTL yang sedang berjalan ini, kalau dipandang perlu nanti akan dilakukan revisi. Tetapi saya sudah sampaikan bahwa dengan review ini, jika ada revisi tidak menurunkan target (pengembangan EBT),” tegasnya.