Jakarta-TAMBANG. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mendesak pemerintah untuk segera mengoptimalkan penggunaan EBT di dalam negeri. Tujuannya, agar tercipta efisiensi penggunaan subsidi negara yang dikucurkan pada sektor bahan bakar minyak (BBM). Saat ini, pemerintah berencana melakukan penghematan APBN tahap II yang bersumber dari subsidi energi, senilai Rp20 triliun.
“Efektifitas penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) harus diwujudkan dengan optimalisasi penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Khususnya dengan Menteri ESDM yang baru Archandra Tahar,” ujar Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Energi Terbarukan, Halim Kalla dalam siaran persnya, di Jakarta, Jumat (29/7).
Ia menuturkan, penggunaan EBT diyakini mampu meningkatkan penerimaan negara, sekaligus penghematannya bisa digunakan untuk berbagai program prioritas pemerintah, seperti pengembangan pemanfaatan EBT dengan program konversi minyak tanah ke gas.Efektifitas PemotonganHalim mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan dengan menaikkan harga BBM sesuai harga pasar, sehingga bisa mengurangi beban subsidi negara.Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga diminta untuk mendorong masyarakat menggunakan energi baru dan terbarukan sebagai bahan bakar alternatif. Untuk itu, insentif menarik wajib diberikan kepada masyarakat pengguna EBT dan juga bag investor yang ingin berinvestasi sektor EBT di dalam negeri.
“Agar masyarakat mau menggunakan EBT, juga investor tertarik untuk mengembangkan sektor EBT di Indonesia. Sebab ada hal menarik yang menjadi daya pikat untuk berinvestasi,” ucap Halim.
Apalagi, Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi terbesar di dunia, mencapai 7% per tahun. Sementara itu, produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan rata-rata 2,1% per tahun periode 1992-2013. Dan kini laju penurunannya semakin tajam, sehingga mendorong pemerintah untuk mengalokasikan subsidi energi.Intinya, kata Halim, pemerintah harus segera mempercepat pembangunan dan mendukung investasi di sektor EBT. Misalnya, dengan memberikan insentif menarik, dukungan regulasi yang berpihak pada investasi tersebut, dan juga fasilitas fiskal memadai. Mengingat nilai investasi sektor EBT sangat besar.
“Meski kemarin, pemerintah dan DPR memangkas subsidi BBM dan LPG pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sekitar Rp 20 triliun, namun realitanya dana negara tetap terpakai untuk subsidi. Kan akan lebih baik jika subsidi itu juga digunakan untuk mendukung pengembangan EBT di dalam negeri. Khususnya EBT yang berpotensi besar di Indonesia seperti panas bumi, shale gas, bahan bakar nabati, coal bed methane (CBM), tenaga air, matahari, hingga angin,” ungkapnya.
Potensi IndonesiaLebih lanjut Halim menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki potensi EBT mencapai 176,01 Gigawatt. Angka itu terdiri dari energi bayu sebesar 950 Megawatt, tenaga surya 11 Gigawatt, tenaga air 75 Gigawatt, energi biomasa 32 Megawatt, biofuel 32 Megawatt, energi laut 60 Gigawatt dan panas bumi 29 Gigawatt.Selain itu, potensi shale gas di Indonesia juga mencapai angka fantastis. Sebab berdasarkan data American Association of Petroleum Geologists dan Badan Informasi Energi AS, potensi shale gas di Indonesia mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF). Sebagai gambaran, satu TCF shale gas bisa menghasilkan 100 miliar kWh listrik dan menghidupkan 12 juta unit kendaraan berbahan bakar gas setahun.
“Artinya, potensi shale gas di Indonesia mencapai 6,89 miliar unit kendaraan berbahan bakar gas selama setahun. Dan potensi coal bed methane (CBM) di Indonesia pun terbilang sangat besar, diperkirakan mencapai 450 TCF, atau setara dengan bahan bakar yang mampu menghidupkan 5,4 miliar unit kendaraan berbahan bakar gas setahun. Jadi potensi Indonesia sangat besar dan sangat melimpah. Dari kedua sektor ini saja memenuhi kebutuhan bahan bakar gas untuk 12,29 miliar unit kendaraan,” terangnya.
Misalnya saja, jelas Halim, jika diasumsikan setiap kendaraan berbahan bakar gas menghabiskan biaya Rp 1 juta/bulan, maka setiap tahunnya dana yang disediakan untuk bahan bakar gas kendaraan itu sebesar Rp 12 juta. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar gas bagi 12,29 miliar unit miliar kendaraan, dibutuhkan anggaran sebesar Rp 147.480 triliun.
“Itu berarti, dengan pengembangan optimal shale gas dan CBM di Indonesia, maka pemerintah bisa meraup dana Rp 147.480 triliun, atau setara dengan 12,7 kali Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2015, yang tercatat sebesar Rp 11.540,8 triliun. Belum termasuk sektor EBT lainnya. Jadi, menurut kami, potensi penerimaan sebesar ini sangatlah tidak masuk akal jika diabaikan begitu saja,” tegas Halim.
Data PemerintahData pemerintah mencatat, pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG pada APBN Perubahan (APBN-P) 2016, dari Rp 63,69 triliun dipangkas menjadi Rp 43,69 triliun. Alokasi dana itu ditujukan untuk subsidi BBM, minyak tanah sebanyak 688.000 kiloliter (KL) dengan jumlah Rp 2,304 triliun, dan solar sebanyak 15,5 juta KL atau turun 500.000 KL dengan jumlah Rp 11,603 triliun.Sedangkan volume LPG yang disubsidi oleh pemerintah sebanyak 6,25 miliar kg, atau turun dari 6,6 miliar kg atau Rp 25,2 triliun. Dan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) juga turun dari US$ 50/barel menjadi US$ 40/barel.Solusi AtraktifHalim menambahkan, berdasarkan data-data pemerintah yang mencatat penurunan kuantitas lifting minyak Indonesia dari posisi sekitar 60-70% pada periode 1992-2013, maka pihaknya menyatakan optimistis mampu mencukupkan pasokan energi nasioal dari EBT.
Bahkan, secara konsisten EBT Indonesia yang dikembangkan optimal, mampu menambah penerimaan negara secara signifikan dan mendukung program prioritas nasional.KADIN Bidang EBT, kata Halim, mengusulkan beberapa hal. Pertama, mendesak pemerintah untuk mempercepat pengembangan sektor EBT secara masif di tanah air, yang paling lambat dimulai pad 2017 mendatang. Kedua, meminta pemerintah menyatakan keberpihakannya pada investasi sektor EBT, khususnya terkait regulasi dan peraturan perundang-undangan yang acapkali menjadi penghadang serius investasi sektor itu. Sehingga investasi dengan skema kerjasama pemerintah swasta (KPS) dapat terwujud. Ketiga, mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya untuk memulai pembangunan sektor EBT.
Paling tidak, tambah Halim, setiap tahunnya pemerintah wajib mengalokasikan dana sebesar Rp 10-20 triliun untuk mengembangkan sektor EBT di Indonesia. Utamanya di daerah yang memiliki potensi besar. Kemudian yang keempat, KADIN juga meminta pemerintah untuk memastikan selesainya permasalahan yang terkait dengan pengadaan lahan, perijinan, dan fasilitas fiskal dan pendukung lainnya. Dan kelima, mengingat besarnya nilai investasi yang diperlukan untuk mengembangkan sektor EBT, maka KADIN sangat berharap pemerintah juga memberikan akses pembiayaan yang terjangkau dan berjangka waktu panjang. Tujuannya, agar investasi tersebut bisa segera diwujudkan.
“Pengembangan sektor EBT sesegera mungkin, kami pastikan akan memberi ruang bagi ketersediaan pasokan energi yang memadai bagi dimulainya pembangunan berkualitas. Jadi, sekaranglah saatnya mengembangkan sektor EBT untuk mendukung perekonomian nasional. Apalagi Menteri ESDM juga sangat memahami teknologi di bidang energi dan sumber daya mineral,” tutupnya