JAKARTA, TAMBANG. DALAM rangka peningkatan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah memandang perlu dilakukan percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan termasuk pembangunan pembangkit 35.000 megawatt dan jaringan transmisi sepanjang 46.000 kilometer. Pembangunan ketenagalistrikan mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan dalam rangka mendukung penurunan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah Pusat menugaskan PT PLN (Persero) dengan memberikan dukungan berupa penjaminan, percepatan Perizinan dan Nonperizinan, penyediaan energi primer, tata ruang, penyediaan tanah, dan penyelesaian hambatan dan permasalahan, serta penyelesaian permasalahan yang dihadapi.
Dengan memperhatikan pertimbangan di atas, Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari 2016 lalu telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Beritanya diunggah di laman Sekretariat Kabinet, kemarin, dan kami tampilkan di sini.
Dalam Perpres itu disebutkan, Pembangunan Infrastrutkur Ketenagalistrikan (PIK) adalah kegiatan perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan dalam rangka penyediaan Infrastruktur Ketenagalistrikan, yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, gardu induk, dan sarana pendukung lainnya.
“Pemerintah Pusat menugaskan PT PLN (Persero) untuk menyelenggarakan PIK,” bunyi Pasal 3 ayat (1) Pepres tersebut.
Dalam melaksanakan PIK sebagaimana dimaksud, PT PLN (Persero) melakukannya dengan swakelola atau bekerja sama dengan badan usaha atau Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dalam penyediaan tenaga listrik.
Pelaksanaan PIK melalui Swakelola, menurut Perpres ini, dilakukan dalam hal: a. PT PLN (Persero) memiliki kemampuan pendanaan untuk ekuitas dan sumber pendanaan murah; b. Risiko konstruksi yang rendah; c. Tersedianya pasokan bahan bakar; d. Pembangkit pemikul beban puncak (peaker) yang berfungsi mengontrol keandalan operasi; dan/atau e. Pengembangan sistem isolated.
Pelaksanaan PIK melalui Swakelola itu meliputi: a. Pembangkit; dan b. Transmisi.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendanaan PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, pemerintah pusat mendukung ketersediaan pendanaan melalui: a. Penyertaan modal negara; b. Penerusan pinjaman dari pinjaman pemerintah yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri; c. Pinjaman PT PLN (Persero) dari lembaga keuangan; d. Pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan dalam hal dilakukan revaluasi aset; dan/atau e. Pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perpres ini juga menyebutkan, untuk meningkatkan kemampuan pendanaan PT PLN (Persero) melakukan: a. Restrukturisasi pendanaan melalui optimalisasi asef finansial PT PLN (Persero); b. Lindung nilai (hedging) sesuai profil paparan risiko kewajiban mata uang asing PT PLN (Persero); c. Refinancing; dan/atau d. Pemanfaatan laba usaha perusahaan dengan menekan rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) seminimal mungkin.
Terkait kemungkinan penggunaan dana pinjaman, menurut Perpres ini, pemerintah pusat memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran PT PLN (Persero). “Jaminan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud bersifat jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada pemberi pinjaman,” bunyi Pasal 7 ayat (2) Perpres tersebut.
BUMN Asing
Perpres ini menegaskan, pelaksanaan PIK melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PT PLN (Persero) dilakukan dalam hal adanya kerja sama antara PT PLN (Persero) dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asing.
Kerja sama dengan BUMN asing itu dilakukan dalam hal badan usaha tersebut memiliki nilai yang strategis bagi PT PLN (Persero) dalam PIK, yang melingkupi antara lain: a. Penyediaan pendanaan yang diperlukan oleh PT PLN (Persero); dan/atau b. Memiliki ketersediaan energi yang akan digunakan oleh PT PLN (Persero) dalam PIK.
“Anak perusahaan PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud merupakan anak perusahaan PT PLN (Persero) yang sahamnya dimiliki oleh PT PLN (Persero) paling kurang 51 persen, baik secara langsung maupun dan/atau melalui anak perusahaan PT PLN (Persero) lainnya,” bunyi Pasal 9 ayat (3) Perpres Nomor 4 Tahun 2016 itu.
Perpres ini juga menegaskan, dalam rangka percepatan pelaksanaan PIK, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral : a. Memberikan prioritas alokasi sumber energi primer ketenagalistrikan untuk operasional PIK; dan b. Menetapkan harga jual energi primer ketenagalistrikan untuk operasional pembangkit tenaga listrik.
“Pelaksanaan PIK dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan dalam rangka mencapai sasaran proporsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang energi,” bunyi Pasal 14 Perpres tersebut.
Dalam rangka pemanfaatan energi baru dan terbarukan itu, menurut Perpres ini, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan dukungan berupa: a. Pemberian insentif fiskal; b. Kemudahan Perizinan dan Non Perizinan; c. Penetapan harga beli tenaga listrik dari masing-masing jenis sumber energi baru dan terbarukan; d. Pembentukan badan usaha tersendiri dalam rangka penyediaan tenaga listrik untuk dijual ke PT PLN (Persero); dan/atau e. Penyediaan subsidi.
Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan PIK dibentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PIK yang dibentuk oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi urusan pemerintahan di bidang perekonomian (Menko Bidang Perekonomian).
Anggota Tim Koordinasi PIK terdiri atas: 1. Wakil Kemenko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya; 2. Wakil dari Bappenas; 3. Wakil Kemendagri; 4. Wakil Kemenkeu; 5. Wakil Kementerian ESDM; 6. Wakil Kementerian BUMN; 7. Wakil Kementerian Perindustrian; 8. Wakil Kementerian Agraria dan Tata Ruang; 9. Wakil Kementerian LHK; 10. Wakil BKPM; 11. Wakil BPKP; 12. Sekretariat Kabinet; dan 13. Wakil instansi terkait lainnya.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 47 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016, yang diundangkan pada tanggal 19 Januari 2016 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly itu.