Jakarta-TAMBANG. Pemerintah terus menggalakan keterlibatan investor di dalam dan luar negeri untuk berinvestasi dalam pembangunan sektor kelistrikan. Dalam megaproyek listrik 35 GW yang digagas pemerintah, pembangunan PLTU batu bara cukup mendominasi dengan proyeksi kapasitas produksi dari PLTU batu bara sebesar 20 GW. Sayang, upaya itu sedikit terhalang dengan masih minimnya dukungan permodalan bagi investor yang berminat ikut.
Meskipun begitu menurut Agung Wicaksono, Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN), megaproyek 35 GW sudah memberi daya tarik bagi lembaga donor dan lembaga keuangan asing untuk menyuntikkan sejumlah dana mereka. Negara yang paling masif, kata Agung, adalah lembaga donor asal Jepang khususnya pada proyek PLTU batu bara.
“Kalau Jepang masih tertarik dan aktif dalam pembangkit listrik di FTP tahap II, mereka cukup berperan di proyek skala besar seperti PLTU Batang, Cirebon, dan jaringan transmisi,” kata Agung kepada Majalah TAMBANG, Kamis (02/07).
Kerjasama dengan Jepang menurutnya akan menguntungkan Indonesia karena negara Matahari Terbit itu memiliki teknologi yang dapat mengurangi emisi karbon hasil pembakaran batu bara. Indonesia ke depan, kata Agung, ingin memastikan emisi karbon dapat tertekan. Itulahlah mengapa pemerintah ingin menggunakan teknologi ultra supercritical yang disediakan oleh perusahaan skala besar dari Jepang.
Agung menambahkan dalam megaproyek 35 GW, tidak selamanya pemerintah bisa mengakomodasi prinsip pembangkit yang bersih. PLTU batu bara masih menjadi pilihan karena sumber bahan bakarnya yang melimpah. Selain itu karakter produksi listrik dari PLTU batu bara mampu menjadi base load atau beban dasar seperti halnya PLTA dan Pembangkit Geothermal. “PLTU batu bara sebagai base load, beban yang sifatnya konstan, selain itu ada PLTA dan Geothermal namun keduanya tidak bisa dibangun cepat dan investasinya mahal,” papar Agung.
Sementara itu, Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform mengatakan pemerintah memiliki tugas besar untuk mengawasi penggunaan teknologi yang dipakai oleh pembangkit listrik. Jangan sampai investor yang masuk dan menanamkan modalnya, justru menawarkan teknologi yang kurang berkualitas dan mengancam prospek jangka panjangnya.
“Hal yang kita perlukan adalah pengawasan dari pemerintah supaya investor yang masuk tidak menawarkan teknologi yang abal-abal. Meskipun harga teknologi mahal, bisa juga nanti operational maintenance dan field cost lebih efisien,” ungkap Fabby.