Jakarta-TAMBANG. Sejatinya, PT Freeport Indonesia sudah harus menawarkan saham untuk divestasi pada 14 Oktober lalu. Namun hingga saat ini baik PT Freeport Indonesia maupun pemerintah belum mau banyak bicara soal rencana tersebut.
Merujuk, pada Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, soal kewajiban divestasi bagi pemegang kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia harus melepas sahamnya 30 persen. Rencananya, pelepasan saham itu dilakukan secara bertahap. Di tahun ini perusahaan asal Amerika tersebut wajib melepas 10,64 persen sahamnya di Indonesia.
Tentu saja, implementasi kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia menyita banyak perhatian masyarakat luas. Salah satu yang memberikan perhatian khusus soal hal ini adalah Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Kepada MAJALAH TAMBANG (15/10), dia berkata, implementasi kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia adalah kesempatan yang baik untuk meningkatkan pendapatan negara dan mempertegas posisi Indonesia atas kedaulatan suber daya yang dimilikinya untuk kesejahteraan rakyat.
Marwan sendiri meminta agar seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan bersatu. Jika tidak memiliki landasan semangat nasional, Marwan khawatir momentum mendapatkan saham 10,64 persen milik PT Freeport Indonesia justru akan sirna. “Saya khawatir justru saham yang seharusnya dimiliki Indonesia malah lari untuk kepentingan investor dari Tiongkok atau bahkan kembali lagi ke PT Freeport,” ucapnya.
Marwan mengaku peluang Tiongkok untuk memiliki saham PT Freeport Indonesia sangat besar. Lalu langkah apa saja yang mesti dilakukan pemerintah dalam menghadapi hal ini. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menanggapi soal mundurnya pelaksanaan divestasi saham PT Freeport Indonesia yang seharusnya dilakukan pada 14 Oktober 2015, lalu?
Secara umum kita dapat lihat dari hasil renegosiasi kontrak. Ada enam poin utama, divestasi, luas wilayah, penerimaan negara, royalti, smelter dan kewajiban menggunakan kandungan dalam negeri (TKDN). Seharusnya, hal-hal ini selesai di 2010 pasca disahkannya UU No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Sedangkan untuk pembangunan smelter harusnya selesai di 2014 silam.
Kalau sampai hari ini hal-hal tersebut belum selesai berarti emang ada masalah, baik dari era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo.
Lalu hal apa yang mesti disiapkan pemerintah Indonesia untuk penguasaan 10,64 persen saham divestasi Indonesia?
Divestasi merupakan salah satu poin penting. Saya memahami kalau PT freeport Indonesia telah membenamknan investasi yang besar sekitar US$ 18 milyar, kalau seandainya itu tinggal 6 tahun secara bisnis tidak menguntungkan karena itu dia perlu diperpanjang. Oke, kalau memang minta diperpanjang, namun Freeport harus mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia. Divestasi jilid dua sejak 2025, pemerintah Indonesia harus memiliki saham mayoritas di PT Freeport Indonesia dan itu harus disepakati.
Namun, kalau perpanjang kontrak dengan kesepakatannya sesuai keinginnan Freeport, serta kepemilikan saham Indonesia di Freeport tidak meningkat atau malah saham yang ada di publik pun mau dijual ke bursa ya posisi Indonesia lemah dan tidak menguntungkan.
Soal divestasi saham PT Freeport Indonesia ditawarkan ke BUMN ?
Jangan pertanyakan soal kemampuan BUMN untuk dapat kelola saham divestasi Freeport. Karena jika anda pertanyakan kemampuan BUMN untuk meraih saham divestasi freeport, artinya sama saja anda merendahkan derajat martabat bangsa sendiri. Artinya kita menganggap kalau bangsa kita tidak mampu.
Justru itu, kalau pun prakteknya tidak mampu, kita harus katakan kalau kita mampu. Karena ini menyangkut soal harga diri bangsa. Kalau negara lain bisa kenapa kita tidak bisa.
Saya hanya mengatakan sejak 2021 (saat kontrak freeport habis) kita harus bisa mengelola soal bagaimana itu dijalankan, baik kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan manajemenya tidak mampu yaa kita bisa bayar orang. Kalau teknologinya belum ada yaa kita beli. Yang penting ada komitmen bahwa kitalah yang menjadi pengelola.
Karena dengan menjadi pengelola kita dapat menjamin optimasi penerimaan negara, tidak ada penyelewangan dan transfer pricing, tidak ada penggelapan pajak, dan dari sisi deviden kita yang mendapatkan keuntungan yang besar kalau memiliki saham mayoritas.
Kalau sekrang kita hanya memiliki 9,3 persen saham di freeport. Kalau dapat untung yaa kita hanya dapat segitu dan dalam kegiatan usaha sehari-hari tidak ada satupun direksi yang mampu kita tepatkan disana karena kita memiliki saham minoritas.
Menurut Anda BUMN mana yang berpeluang?
Di bidang mineral ada ANTAM dan Timah masih relevan. Namun memang alangkah lebih idealnya kalu kita memiliki BUMN khusus di mana 100% sahamnya masih milik negara untuk mengambil divestasi saham Freeport.
Supaya hasil dan privilage yang diperoleh dari tambang Freeport Indonesia dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Kalo seperti ANTAM yang 35% sahamnya sduah ada di publik dan pemilik saham asing, artinya merugikan karena yang dapat menikmati yaa semua pemilik saham ANTAM.
Cuma itu lebih baik daripada 100% sahamnya dimiliki swasta. Itulah sebabnya mungkin lebih bagus kita melakukan buy back saham ANTAM. Kalau pun masih ada sisa saham publik di ANTAM, yaa sisain saja 15% sahamnya, saya pikir itu masih oke lah. Walaupun idealnya 100% saham ANTAM harus dimiliki negara.
Bagaimana soal pengawasan pemberian divestasi saham ke BUMN?
Kita dapat lihat kemungkinannya dari proses pembayaran saham divestasi Freeport dan tidak tepat kalau Indonesia membayar sahamnya sesuai dengan saham freeport di Amerika. Karena itu harus ada hitungan khusus, karena kita juga sebagai pemegang aset ini, sehingga harga saham yang ditawarkan harusnya mendapatkan lebih murah. Saya kira di perjanjian Kontrak Karya (KK) sudah ada hitung-hitungannya dan itu bukan harga pasar.
Hal terpenting terbuka harganya diumumkan ke publik yaa sudah. Kita juga mesti berhati-hati pada strategi yang dijalankan oleh oknum yang tidak meinginkan pemerintah Indonesia memiliki saham Freeport.
Karena di daerah Papua sudah mulai ada yang angkat bicara soal keinginan daerah memiliki saham divestasi Freeport. Pertanyaanya dari mana mereka punya uang, saya khawatir niat memiliki saham Freeport oleh daerah justru malah menguntungkan pelaku yang berada di belakangan daerah, baik itu Tiongkok maupun Freeport sendiri. Mengaca kepada kasus divestasi saham Newmont yang dilakukan Pukuafu dan akibatnya semangat kita terpecah-pecah.
Lalu yang ideal seperti apa untuk daerah?
Kita juga harus memikirkan alokasi saham untuk daerah, kalau di migas itu jatahnya 10 persen, yaa harus ada hitungan juga yang tepat untuk di tambang.
Perlukah ada perbelakuan khusus untuk divestasi?
Kewajiban divestasi itukan diatur dalam undang-undang minerba bukan pasar modal, kalau kita bicara pasar modal dan membiarkan Freeport melepas sahamnya di bursa artinya kita tidak bisa menambah saham dan tidak bisa menempatkan satu orang pun di Freeport dan itulah yang diinginkan supaya Freeport tidak dikawal atau direcoki. Padahal kita ingin ada orang Indonesia yang memiliki semangat nasionalis di dalam manajemen Freeport agar pengawasannya bisa kita kontrol.
Sepanjang pemerintah komit kepada kepentingan nasional sesuai dengan amanat konstitusi maka pemerintah tidak akan mengambil opsi menawarkan divestasi saham di lantai bursa. Dan menjamin bawa proses pemberian divestasi saham Freeport berjalan dengan bersih tanpa ada penyelewengan maupun manipulasi.