JAKARTA – Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) sepanjang 2015 diestimasi tetap positif meski menghadapi tekanan dari anjloknya harga minyak dunia. Hal ini terlihat dari peningkatan margin EBITDA yang naik pesat dibandingkan 2014.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan Pertamina pada tahun lalu mencatat margin EBITDA 12,28%, tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013-2014, margin EBITDA Pertamina tercatat sebesar 9,36% dan 8,26%
“Ini ditimbulkan dari proses efisiensi yang sudah kami lalukan, cost bisnis juga lebih efektif seiring kebijakan pengetatan dari tata kelola arus minyak. Kami mengawasi secara ketat distribus minyak dari tanker kilang terminal BBM hingga ke SPBU,” ujar Wianda di Jakarta, Kamis (28/4).
Hingga akhir 2015, Pertamina berhasil membukukan angka efisiensi sebesar US$608 juta. Menurut Wianda, Pertamina juga melakukan sejumlah inovasi produk sehingga ikut membantu menjaga kinerja keuangan tetap positif. Kontribusi Pertalite saat ini sudah diatas 14% mengambil konsumsi Premium. Sementara itu, Dexlite yang baru diluncurkan baru-baru ini animonya sangat tinggi.
“Apalagi kalau nanti kita bisa negosiasi dengan pemerintah untuk menurunkan harga FAME, sehingga harga Dexlite bisa diturunkan,” kata dia.
Selain itu, di sektor hilir Pertamina menggenjot pembangunan infrastruktur, peningkatan kerja sama dengan BUMN lain dibidang energi atau mitra lain melalui nota kesepahaman untuk bisa memangkas biaya dengan lebih baik.
“Untuk pengadaan barang dan jasa nonhidrokarbon, selain ISC kita lakukan renegosiasi kontrak dan sentralisasi di procurement Pertamina yang menghasilkan efisiensi sekitar US$90 juta,” kata Wianda.
Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR, mengakui di downstream, kinerja Pertamina meningkat signifikan. Mata rantai impor minyak dan BBM yang sebelumnya cukup panjang berhasil dipangkas dan patut diapresiasi.
“Pertamina juga punya roadmap pembangunan kilang minyak baru, termasuk salah satunya yang berprestasi adalah berhasil men-take over hampir 60% saham di TPPI. Itu prestasi bagus karena tidak tercapai di beberapa tahun lalu,” ungkap dia.
Roadmap pembangunan kilang, lanjut Satya, harus terus dilanjutkan dan direalisasikan. Strategic petroleum reserve yang cukup perlu diikuti dengan membangun tangki-tangki penimbun agar, Indonesia mempunyai daya tahan terhadap kebutuhan BBM dari 20 hari menjadi sekitar 30 hari.
“Itu hanya bisa jika Pertamina membangun tangki penimbun tinggal implementasinya,” kata dia.
Ferdinand Hutahean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, mengatakan keberhasilan Pertamina yang mempertahankan kinerja ditengah anjloknya harga minyak dan gas patut diapresasi. Keuntungan Pertamina terutama karena ditopang oleh sektor hilir yang mampu menginovasi penjualan produknya, seperti Pertalite dan penjualan produk pelumas.
“Sektor hilir Pertamina cukup bagus dan terus berkembang sampai sekarang dengan dipasarkannya Dexlite. Kita berharap produk baru ini juga akan mampu sukses seperti Pertalite,” kata dia.
Sektor hilir, lanjut Ferdinand, tetap harus digenjot untuk mempertahankan kinerja keuangan Pertamina tetap stabil dan terus melakukan efisiensi diberbagai lini. Strategi Pertamina harus lebih banyak menggenjot hilir untuk 2016.
Sektor Hulu
Menurut Satya, di sektor hulu, kinerja Pertamina meningkat. Namun karena harga minyak sedang turun, eksplorasinya juga melambat, hanya ada beberapa lokasi yang positif.
“Seperti di tempat Pertamina yang saat ini bekerja sama dengan Exxon over all untuk hulu cukup baik,” katanya.
Menurut Ferdinand, untuk saat ini menggenjot produksi hulu sangat tidak efektif karena harga minyak dan gas yang belum baik. Pasalnya, biaya produksi sektor hulu masih cukup tinggi. Sangat tidak menguntungkan jika hulu terus digenjot.
“Kami justru sarankan agar Pertamina lebih berhati- hati menyikapi fluktuasi harga minyak dengan membuat perencanaan matang produksi hulunya. Jangan sampai sektor hulu justru menghasilkan kerugian karena produksi digenjot sementara harga sedang tidak bagus,” tandasnya.(***)