Jakarta,TAMBANG, Di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow ada dua lokasi yang jadi lokasi penambangan ilegal yakni Jalina dan Tapa Gale. Banyak warga baik dari Desa Bakan, Kecamatan Lolayan maupun dari daerah sekitar menambang di lokasi tersebut. Padahal daerah ini masih menjadi bagian dari konsesi milik PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM), perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK).
Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan ilegal ini cukup memprihatikan. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan cukup parah karena di beberapa lokasi kegiatan penambangan sudah menggunakan alat berat. Karena akvitasnya ilegal maka tidak diketahui bagaiman mereklamasinya kembali.
Lebih parah lagi di lokasi ini sering terjadi kecelakaan sampai menimbulkan korban jiwa. Sudah ada puluhan penambang yang meninggal akibat kecelakaan kerja. Hal inilah yang turut mendorong aparat penegak hukum melakukan kegiatan penertiban.
Data menyebutkan sepanjang 2019 sampai Juli 2020, sudah ada beberapa kali kegiatan penertiban yang dilakukan. Pada Juni-Juli 2019 dilakukan operasi penertiban yang berlangsung selama sebulan yang dilakukan Polres Kotamobagu.
Selanjutnya pada Desember 2019, kembali dilakukan operasi penertiban gabungan Kodim dan Polres Kotamobagu. Pada 17 Maret juga dilakukan penertiban oleh Kapolda Sulut di Tanoyan. Dilanjutkan pada 18 Mei dilakukan operasi gabungan Polres Kotamobagu. Kemudia pada 19 Juni silam kembali dilakukan kegiatan penertiban oleh Kapolres Kotamobagu Prasetya Sejati di Bakan. Operasi tersebut dilakukan setelah beberapa hari sebelumnya kembali terjadi kecelakaan yang menyebabkan seorang penambang meninggal dunia.
Sayangnya berbagai upaya penertiban ini belum berhasil menghentikan kegiatan aktivitas penambangan ilegal di daerah tersebut. Bahkan yang terjadi banyak warga penambang yang secara diam-diam pergi menambang dan mengolahnya di lokasi yang aman.
Dalam perjalanan waktu muncul desakan agar Pemerintah Kabupaten Bolmong segera mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk wilayah tersebut. Diharapkan setelah WPR akan diterbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Beberapa waktu lalu masyarakat penambang Desa Bakan, Kecamatan Lolayan melakukan aksi demo ke Kantor DPR Bolaang Mongondow. Mereka menyampaikan tuntutan menerbitkan WPR di daerah yang selama ini menjadi lokasi PETI.
Kabag Hukum, Ditjen Minerba, Kementrian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi menjelaskan saat ini IPR diterbitkan berdasarkan penetapan WPR yang sudah disetujui Menteri ESDM setelah direkomendasikan oleh Gubernur. “WPR juga di tetapkan di wilayah yang bebas dari eksisting perizinan baik Kontrak karya maupun izin lain. Bila wilayah tersebut masih merupakan wilayah izin pihak lain maka tidak bisa diterbitkan IPR dan perizinan lain, biasanya pelepasan wilayah juga didasarkan oleh permintaan perusahaan karena memang lokasi tersebut tidak ekonomis,”terangnya.
Karena belum kunjung mendapat jawaban, maka elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Desa Bakan (AMDB) menyambangi PT JRBM. Kelompok ini meminta diberi ruang untuk menambang di lokasi yang selama ini jadi areal PETI.
Keinginan ini tentu tidak mudah karena lokasi tersebut masih menjadi wilayah kerja PT JRBM. Sementara PT JRBM selama ini menjadi kontraktor yang bekerja dibawah pengawasan Pemerintah Pusat.
“Sebagai kontraktor tambang dari pemerintah, secara aturan kami tunduk pada Pemerintah Pusat sehingga kami menunggu putusan Pemerintah Pusat. Kami berharap Pemerintah Daerah juga melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat,” terang Eksternal PT JRBM Seno Broto.
Secara aturan WPR hanya bisa dikeluarkan untuk daerah yang belum ada pemiliknya. Atau di daerah yang dilepas (relinguish) perusahaan. Akan sangat sulit bagi pemerintah baik Provinsi atau Pemerintah Pusat menerbitkan IPR di wilayah yang masih menjadi bagian dari konsesi perusahaan tambang.
Belum lagi ada UU Minerba yang baru sehingga butuh penyesuaian termasuk kebijakan terkait Izin Pertambangan Rakyat (IPR). UU Minerba yang baru mendelegasikan kewenangan perizinan pada Pemerintah Pusat.
Seperti diketahui, di sektor pertambangan sudah ada regulasi baru. UU No. 3 tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat ini pun Kementerian ESDM sedang menyusun regulasi turunan. Dalam masa transisi ini, sesuai Surat Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 Juni 2020 tidak ada Penerbitan Izin Usaha Pertambangan baru termasuk IPR.
Seputar Amdal PT JRBM
Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow pekan lalu juga mengadakan Rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompida). Rapat tersebut dihadiri antara lain Wakil Bupati Yani Roni Tuuk, Ketua DPRD Welti Komaling, Dandim Bolmong, Polres Kota Kotamobagu mewakili Polres Bolmong dan Komisi I DPRD Bolmong.
Dalam pertemuan tersebut sempat muncul klaim bahwa dua lokasi yang selama ini jadi areal PETI yakni Jalina dan Tapa Gale belum ada Dokumen AMDAL. Hal ini disampaikan Anggota DPRD Bolaang Mongondow Febrianto Tangahu. Padahal AMDAL merupakan salah satu tahapan penting dalam kegiatan operasi pertambangan.
Dari penelusuran, AMDAL PT JRBM yang sebelumnya PT Avocet ini sudah ada sejak tahun 2007. Kemudian di 2012 ada perubahan nama perusahaan. “AMDAL PT J Resources Bolaang Mongodow sudah ada sejak 2007. Sampai sekarang sudah beberapa kali mengalami addendum,” terang Kepala Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Sulawesi Utara Marly Gumalag. Marly sebelumnya adalah Kepala Dinas ESDM Provinsi Sulut. Dalam addendum AMDAL di tahun 2015, perusahaan sudah memasukan lokasi Jalina dan Tapagale.