Jakarta-TAMBANG. Upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meningkatkan elektrifikasi dengan mengundang investor batu bara di sektor kelistrikan terancam gagal. Pasalnya, upaya itu kini harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2014 yang mengatur tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Dalam PP itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengkategorikan Fly ash (FA) dan Bottom ash (BA) sebagai bahan berbahaya dan beracun. FA/BA merupakan ampas yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara di lokasi PLTU.
Koespraptini Ria, Dewan Penasihat Asosiasi Lingkungan Pembangkit Listrik (ALLIN) mengatakan, penerapan PP tersebut akan memberikan pengaruh besar pada sektor ketenagalistrikan. Pembangkit listrik, kata Ria, merupakan industri yang dilakukan audit proper oleh Kementerian LHK. Dengan adanya PP tersebut, sudah dipastikan bahwa seluruh PLTU Batu bara akan mendapatkan rapor merah atau hitam.
“Implikasi dari PP itu adalah seluruh kegiatan operasional PLTU batu bara harus dimatikan karena melanggar peraturan pemerintah,” ungkap Ria di Jakarta, Kamis (5/2).
Ria menambahkan, jika FA/BA dimasukan dalam kategori B3, maka perusahaan wajib menyediakan lahan seluas 1.700 haktare untuk daerah penampung. Kewajiban ini tentu akan menyulitkan investor yang akan masuk karena mendapatkan areal lahan sebesar itu bukanlah perkara yang mudah. Mereka akan terhambat dengan masalah izin dan pembebasan lahan.
“Padahal FA/BA ini sudah diteliti dan bisa dimanfaatkan untuk bahan konstruksi. Sudah ada yang pakai seperti Holcim, Indocement, tapi karena izin pemanfaatannya belum ya susah juga,” keluhnya.
Asosiasi, kata Ria, juga mempertanyakan kebijakan ini. Di Jepang, FA/BA tidak dimasukkan dalam kategori B3, padahal sumber batu bara dan proses pembakaran yang dipakai sama dengan PLTU di Indonesia. Saat ini pihak asosiasi terus berusaha meminta Kementerian terkait untuk mengkaji kembali PP tersebut, terutama ketika membuat aturan turunannya berupa Permen.
“Kami sudah sampaikan ke Wamen ESDM sedari awal ketika PP ini masih jadi draf. Tapi kok sampai diundangkan masih dimasukkan. Karena ini baru PP, saya berusaha intervensi bagaimana penyusunan Permennya nanti.”
Seperti diketahui, bersamaan dengan terbitnya PP ini, Kementerian ESDM sebelumnya mengajak seluruh investor untuk menanamkan modalnya di sektor ketenagalistrikan, terutama untuk membantu pelaksanaan proyek 35.000 MW. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan mengalokasikan 60% dari jumlah itu untuk PLTU Batu bara sementara sisanya berasal dari bauran energi lain.