Bandung, TAMBANG – Ketua Umum Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia (Apkabel), Noval Jamalullail menegaskan, industri kabel domestik sanggup menjamin menyerap hasil hilirisasi konsentrat tembaga di dalam negeri. Sebab, kapasitas produksi industri kabel mampu mengimbangi proyeksi pembangunan smelter tembaga.
Menurutnya, kebutuhan industri kabel domestik terhadap tembaga sudah mencapai 800 ribu ton per tahun. Jumlahnya memang sempat menurun lantaran terdampak pandemi menjadi sekitar 500 ribu ton, namun akan kembali naik seiiring pemulihan ekonomi pascapandemi.
“Kapasitas kita sudah bisa 800 ribu ton. Faktor pandemi membuat kondisi industri jatuh. Industri kabel yang mengonsumsi tembaga berjumlah sebanyak 45 pabrik. Dari jumlah itu, 15 pabrik di antaranya mempunyai fasilitas pengolahan tembaga atau penghasil rod tembaga. Kalau saya bikin rata-rata saja, kapasitasnya sekitar 500 ribu ton. Kabel tembaga tahun ini naik, ekonomi sudah membaik,” jelas Noval saat menghadiri acara “The 1st Indonesia Minerals Mining Industry Conference-Expo 2022”, Rabu (30/11).
Melihat angka tersebut, Noval yakin industri kabel dapat menyerap katoda tembaga yang akan dihasilkan dari smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur. Dalam proyek itu, Freeport mencanangkan produksi katoda tembaga dengan kapasitas pabrik sebesar 600 ribu ton per tahun.
“Freeport investasi smelter untuk kapasitas 600 ribu ton, itu lewat,” bebernya.
Tapi masalahnya, sambung Noval, selama ini pemain industri kabel lebih memilih impor dibanding beli bahan baku di dalam negeri. Adapun produsen katoda tembaga di Indonesia saat ini adalah PT Smelting, yang sahamnya dipegang Freeport sebesar 39,5%. Dari total produksi PT Smelting pada tahun 2021 sebesar 269 ribu ton, tercatat penjualan domestik kurang dari 100 ribu ton, sedangkan sisanya diekspor.
“Memang kebutuhan industri kabel terhadap tembaga itu banyak, tetapi yang beli dari produsen lokal sedikit, impornya yang banyak. Sebab kebijakannya belum seperti yang kita harapkan. Kalau mau impornya ditutup, ekspor katoda tembaga juga harus ditutup. Kalau impornya ditutup tapi ekspor katoda tembaga dibuka, bubar hilirnya,” tegas Noval.
Selain itu, ada kendala nonteknis yang membuat pemain industri kabel sulit membeli bahan baku lokal, yaitu aspek pendanaan. Pasalnya, produsen katoda tembaga menuntut industri kabel untuk melakukan pembayaran secara tunai, sedangkan klien industri kabel yang umumnya adalah pelat merah kelistrikan dan energi, memberikan pembayaran dengan termin yang bisa mencapai berbulan-bulan. Sehingga pemain industri kabel kesulitan menjaga arus kas apabila membeli bahan baku di dalam negeri.
“Beli tembaga harus cash keras di depan, pabrik kabel kesulitan karena pembeli bayarnya tidak langsung. Kita harus cover itu semua, berat. Untuk itu, diperlukan pendekatan khusus dalam menyelesaikan masalah nonteknis ini, misalnya dengan melibatkan perbankan pelat merah,” pungkas Noval.