Jakarta, TAMBANG- Indonesia akhirnya memenangkan perkara gugatan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd setelah pertarungan selama enam tahun, sejak 2015 lalu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly mengungkapkan, kemenangan ini merupakan kemenangan yang pertama yang dicapai Pemerintah Indonesia di Forum ICSID di Washington D.C. Amerika Serikat.
Forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington D.C. Amerika Serikat (AS), akhirnya mengeluarkan putusan yang memenangkan Republik Indonesia, dengan menolak semua permohonan annulment of the award yang diajukan oleh para penggugat.
“Kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh para penggugat,” kata Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima Tambang.co.id, Senin (25/3).
Kasus ini bermula saat para penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia.
Pelanggaran dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/ Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan para penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 Km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010.
Para penggugat mengklaim bahwa pelanggaran tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar USD1.3 miliar (lebih kurang Rp18 triliun).
Lalu pada 6 Desember 2016, Tribunal ICSID menolak semua klaim yang diajukan oleh para penggugat terhadap Republik Indonesia. Tribunal ICSID selanjutnya juga mengabulkan klaim Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD 9,4 Juta.
Dalam jalannya persidangan Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa, investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.
Tribunal ICSID juga menemukan bahwa para penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence). Dengan demikian Tribunal ICSID menyatakan klaim dari para penggugat ditolak.
Lalu pada 31 Maret 2017, para penggugat mengajukan permohonan pembatalan putusan (annulment of the award) berdasarkan Pasal 52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Konvensi ICSID).
Dengan kemenangan yang dicapai, Indonesia terhindar dari klaim sebesar USD 1.3 miliar (sekitar Rp18 triliun) dan mendapatkan pergantian biaya perkara sebesar USD9.4 Juta.
“Hal ini juga membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia membuat perlakuan yang seimbang dan adil terhadap investor asing dan membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan dalam pengelolaan di bidang pertambangan,” lanjut Yasonna.