Jakarta-TAMBANG. Keberhasilan PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, menggandeng dua perusahaan raksasa minyak dunia, Saudi Aramco dan Rosneft dalam pengembangan Kilang Cilacap di Jawa Tengah dan pembangunan Kilang Tuban di Jawa Timur akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia.
Hariyadi B Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan kerja sama Pertamina dengan Saudi Aramco dan Rosneft menunjukkan Indonesia mampu membalikan persepsi investor terkait kondisi atau iklim investasi. “Track record kita kan tidak sedikit tercoreng akibat ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab di pemerintahan,” kata Hariyadi, Kamis (26/5).
Hariyadi menambahkan kerja sama Pertamina dengan Rosneft dan Saudi Aramco merupakan bentuk kerja sama yang bagus. Kerja sama tersebut akan meningkatkan (upgrading) peralatan dan teknologi kilang nasional. “Kilang kita sudah perlu dilakukan upgrading. Itu yang tidak dilakukan 10 tahun terakhir,” kata dia.
Djoko Siswanto, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menilai kerja sama yang dilakukan Pertamina dengan Rosneft serta Saudi Aramco merupakan hal positif. Tidak hanya akan membantu dalam meringankan pendanaan, tapi juga menjamin pasokan minyak mentah kebutuhan kilang. “Modal jadi ringan dan bahan baku crude mereka yang menyediakan. Kalau kilangnya sudah jadi sangat mengurangi biaya untuk impor BBM,” ungkap Djoko.
Pemerintah telah menunjuk Rosneft, perusahaan minyak asal Rusia untuk menjadi mitra Pertamina membangun kilang minyak berkapasitas 320 ribu barel per hari di Tuban, Jawa Timur, dengan total investasi sebesar US$ 13 miliar. Selain bekerja sama untuk dapat membangun kilang minyak di Tuban, Rosneft juga berkomitmen agar Pertamina dapat berperan serta dalam penambangan minyak di Rusia untuk kemudian dibawa ke Indonesia sebagai cadangan minyak nasional.
Selain itu, Pertamina juga menjalin kerja sama dengan Saudi Aramco untuk mengembangkan Kilang Cilacap dengan nilai investasi US$5 miliar. Pengembangan kilang Cilacap merupakan bagian dari refinery development masterplan program (RDMP) lima kilang utama, yakni Kilang Plaju, Dumai, Cilacap, Balikpapan serta kilang Balongan. Pertamina melalui RDMP menargetkan kapasitas kilang pengolahan minyak meningkat menjadi 1.610.000 barel per hari (bph) pada 2025.
Ferdinand Hutahean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, mengatakan dengan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 47 juta kiloliter (KL) setiap tahunnya atau sekitar 1,6 juta barel perhari, maka tidak heran Indonesia harus mengimpor BBM dan minyak mentah untuk kebutuhan publik setiap tahun harinya.
Produksi siap jual (lifting) minyak yang terus menurun hingga sekarang berkisar di angka 800 ribu barel perhari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, belum lagi dari 800 ribuan barel itu setengahnya adalah milik operator sehingga praktis pemerintah sangat defisit antara produksi dan kebutuhan.
Menurut Ferdinand, kapasitas produksi kilang minyak nasional saat ini hanya berkisar 700 ribu-800 ribu barel perhari, dan untuk menutupi kebutuhan nasional maka harus ditutup dengan melakukan impor yang cukup besar. Rata – rata sekitar 50% kebutuhan minyak dalam negeri diimpor baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk.
“Angka yang sangat fantastis kita keluarkan setiap tahun untuk impor, ratusan triliun rupiah kita gelontorkan setiap tahun untuk impor kebutuhan minyak nasional,” tutupnya.