Beranda Tambang Today Indonesia Alami Kemajuan Pasca Jadi Pelaksana EITI

Indonesia Alami Kemajuan Pasca Jadi Pelaksana EITI

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah (Ketika dari Kiri-kerudung merah muda)

Jakarta,TAMBANG –  Indonesia telah menjadi negara pelaksana inisiatif Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI). Bahkan pada Rapat Dewan Internasional EITI ke-28 pada 2014, Indonesia telah dinyatakan sebagai negara berstatus Compliant Country.

 

Selanjutnya sejak 1 September 2018 hingga akhir tahun ini, Indonesia menjalani proses validasi. Tujuan tidak lain melihat sejauh mana komitmen Indonesia dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, khususnya migas dan tambang.

 

Hasil validasi ini akan menentukan status Indonesia, apakah masuk dalam kategori memuaskan (Satisfactory), kemajuan yang berarti (Meaningful Progress), kemajuan yang tidak memadai (Inadequate Progress) atau tidak ada kemajuan sama sekali (No Progress).

 

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengingatkan, momentum pelaksanaan validasi EITI ini bukan sekedar seremonial mengejar status Indonesia sebagai negara yang berkategori  memuaskan (Satisfactory).

 

“Proses Validasi EITI justru menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor ekstraktif untuk melakukan refleksi apakah sudah ada perbaikan tata kelola di industri ekstraktif. Lebih jauh, apakah industri ekstraktif di Indonesia berkontribusi terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya justru menjadi kutukan bagi Indonesia?” kata Maryati dalam keterangan resminya, Rabu (14/11).

 

PWYP Indonesia memandang, sejak ditetapkannya Indonesia sebagai negara kandidat pelaksana EITI pada 19 Oktober 2010, telah terjadi transformasi tata kelola sektor ekstraktif menuju ke arah yang lebih baik. Inisiatif EITI menjadi  trigger mechanism, bagi munculnya berbagai inisiatif-inisiatif reformasi perbaikan tata kelola di sektor ini.

 

Indonesia telah mempublikasikan lima laporan EITI, yang meliputi Laporan EITI TA 2009, TA 2010-2011, TA 2012-2013, TA 2014 dan TA 2015. Laporan EITI berisi informasi rekonsiliasi atas pembayaran perusahaan dan penerimaan negara, baik pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kedua sektor migas dan minerba.

 

Sementara laporan kontekstual, mengungkapkan ruang lingkup industri ekstraktif, kerangka hukum industri ekstraktif, kebijakan perpajakan, tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terkait dalam industri ekstraktif. Kemudian,  proses perizinan dan kontrak pertambangan migas dan minerba, kontribusi industri ekstraktif terhadap perekonomian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam industri ekstraktif.  Serta tanggung jawab lingkungan hidup dan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility), manajemen penerimaan negara dan rekomendasi perbaikan transparansi dan tata kelola di industri ekstraktif.

 

Menilik laporan EITI Indonesia yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2013 untuk periode Tahun Anggaran (TA) 2009, masih ditemukan problem pengelolaan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM.

 

Misalnya, temuan awal EITI menunjukkan angka perbedaan royalti batu bara antara yang dibayarkan perusahaan dan yang diterima di kas negara sebesar USD 727 juta. Namun, setelah dilakukan rekonsiliasi (mekanisme EITI) dengan memeriksa catatan fisik di Ditjen Minerba, angka perbedaan menjadi jauh lebih kecil yaitu sebesar USD54 juta.

 

Dalam perjalanannya, telah banyak upaya yang telah dilakukan oleh Ditjen Minerba untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi laporan EITI, untuk memperbaiki problem tata kelola sektor minerba. Sebut saja, dibentuknya Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk memperbaiki data dan pengelolaan PNBP. Kemudian dikembangkannya platform E-PNBP yang terintegrasi dengan SIMPONI-nya Kementerian Keuangan.

 

Lalu ada platform Minerba One Data Indonesia (MODI) dan Minerba Online Monitoring System (MOMS). Kemudian ada Minerba One Maps Indonesia (MoMI) yang di-scale up menjadi ESDM Geoportal. Ditjen Minerba ESDM bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2014 juga terus membenahi sektor ini melalui Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba dalam kerangka Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA).

 

Sektor migas juga tidak ketinggalan untuk melakukan berbagai pembenahan. Sejak 2015, Pemerintah memanfatkan metode lelang elektronik dalam proses lelang penawaran wilayah kerja (WK) Migas. Pada 2016, dibangun sistem monitoring produksi minyak bumi berbasis online real time pada fasilitas produksi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

 

Di tahun ini dikembangkan sistem perizinan dan pelaporan online untuk mempercepat dan mempermudah, serta meningkatkan kualitas pelayanan penerbitan Izin Usaha Kegiatan Hilir Migas. Selain itu, akses data bagi peserta lelang WK Migas kini sudah digratiskan, meskipun bagi pemenang lelang, biaya akses data tetap diberlakukan.

 

“Tentu saja kami memberikan apresiasi terhadap upaya-upaya perbaikan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM sejauh ini. Salah satu indator misalnya, Laporan Indeks Tata Kelola Sumber Daya 2017 yang dirilis oleh Natural Resource Governance Institute (NRGI) menempatkan tata kelola tambang Indonesia pada peringkat 11 dari 89 penilaian tingkat negara dengan skor 68 dari 100, dengan kategori memuaskan,” ungkap Maryati.

 

EITI sebagai sebuah inisiatif multistakeholder groups(MSG) yang beranggotakan perwakilan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat sipil, mendorong terjadinya kolaborasi dan co-action antar pemangku kepentingan dalam melakukan perbaikan tata kelola sektor ekstraktif.

 

Maryati berharap model-model co-creation antar pemangku kepentingan seperti ini, bisa diterapkan ke dalam sejumlah inisiatif seperti Open Government Partnership (OGP), Sustainable Development Goals (SDG’s) maupun pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi (PK) sebagai mandat dari Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

 

Prakarsa EITI juga sejalan sekaligus melengkapi upaya pengungkapan informasi Beneficial Ownership (BO)di Indonesia. Standar EITI mewajibkan perusahaan tambang pelapor EITI untuk membuka data BO-nya per 1 Januari 2020. Untuk menuju pembukaan data BO di sektor ekstraktif, disusunlah peta jalan pengungkapan BO sektor Ekstraktif.

 

Di awal tahun ini, telah diterbitkan Perpres Nomor 13 tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme, yang mewajibkan setiap korporasi (seperti perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya) untuk menetapkan, melaporkan, dan melakukan pembaharuan ‘Pemilik Manfaat’ dari korporasi.

 

Di tahun 2018 ini pula, Indonesia menjadi negara piloting pertama yang menerbitkan laporan transparansi commodity trading, khususnya untuk perdagangan minyak bumi. Merujuk pada standar EITI 2016 yang mewajibkan transparansi pendapatan pemerintah, termasuk penerimaan BUMN dari in kind material termasuk pembukaan jumlah volume yang dijual dan pendapatan yang diterima.

 

Laporan Commodity Trading Indonesia sendiri merupakan serangkaian 1.909 catatan transaksi yang disediakan SKK Migas, dengan nilai transaksi yang tercatat meliputi pengiriman 115 juta barel minyak mentah dan kondensat sebesar USD4,74 miliar.

 

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Program, PWYP Indonesia memberikan sejumlah catatan lain. “Inisiatif-inisiatif perbaikan tata kelola industri ekstraktif yang banyak dikembangkan Pemerintah (Misal: E-PNBP, SIMPONI, MOMS), secara umum memberikan batasan kepada publik untuk mengaksesnya. Padahal transparansi yang diinginkan melalui EITI adalah transparansi kepada publik, bukan hanya untuk pemerintah dan pelaku usaha saja. Selain itu, data-data yang ada dalam berbagai platform yang dikembangkan (Misal: MODI, ESDM Geoportal) tidak up to date,” Tandas Aryanto.

 

Aryanto pun menambahkan dalam konteks EITI, masih ditemukan banyak perusahaan non operator migas dan perusahan minerba yang tidak lapor EITI dengan berbagai alasan. Dan bagi perusahaan yang tidak melapor tersebut tidak dikenai sanksi apa pun.

 

“Kami melihat perbaikan-perbaikan tata kelola sektor ekstraktif masih belum menyentuh aspek pengawasan dan penegakan hukum. Termasuk belum concern terhadap upaya membangun mekanisme penanganan pengaduan bagi publik,” Jelas Aryanto yang juga Wakil Masyarakat Sipil Dalam Tim Pelaksana EITi Indonesia