Jakarta, TAMBANG – Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) mengkritisi skema kontrak Minyak dan Gasbumi (Migas) dari skema Production Sharing Contract (PSC) menjadi gross split yang diterapkan pemerintah saat ini.
Ketua Umum IMEF, Singgih Widagdo , mengatakan, perubahan skema dari PSC ke gross split menimbulkan ketidakpastian terhadap investasi migas. Terutama dengan adanya klausul diskresi pemerintah c.q Menteri ESDM terhadap perubahan prosentase split yang bisa bertambah untuk kontraktor, tapi juga bisa berkurang. Tergantung persepsi keekonomian dari Menteri ESDM sewaktu-waktu.
Diskresi tersebut dilihat dalam ayat 1,2 dan 3 pasal 7 Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang menyatakan:
“Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu, Menteri dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil kepada kontraktor (ayat 1). Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan melebih keekonomian tertentu, Menteri dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk Negara (ayat 2). Penetapan tambahan persentasi bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan untuk persetujuan pengembangan lapangan yang pertama (Plan of Development I) dan atau pengembangan lapangan (Plan of Development) selanjutnya (ayat 3)”.
“Oleh karena itu, tidak ada satupun perusahaan raksasa migas ex-Seven Sister yang meminati kontrak-kontrak blok migas yang ditawarkan dalam dua tahun terakhir,” kata Singgih Widagdo dalam diskusi Outlook Energi Dan Pertambangan Indonesia 2019, di Cikini, Jakarta, Kamis (17/1).
Perusahaan-perusahaan migas raksasa The Seven Sister yang dimaksud yaitu yang tergabung dalam Anglo-Iranian Oil Company (Sekarang BP), Gulf Oil (bagian dari Chevron). Kemudian Royal Dutch Shell, Chevron yang dulunya dikenal dengan nama Standard Oil Company of California, ExxonMobil yang juga sebelumnya bernama Standard Oil Company of New Jersey dan Texaco yang kemudian di merger ke dalam Chevron. Persepsi perusahaan itu saat ini masih melekat pada empat perusahan bersar yaotu, ExxonMobil, Chevron, Shell dan BP.
Singgih menilai, saat ini hanya hanya perusahaan kelas menengah yang mencoba untuk merubah sistem kontrak dari PSC ke gross split di 14 blok eksplorasi yang diklaim sebagai tonggak kesuksesan sistem baru tersebut.
“Kita masih harus menunggu realisasi dari komitmen-komitmen eksplorasi yang dijanjikan par apemegang kontrak PSC gross split itu,” tutur Singgih.
Hal senada dikatakan Asosiasi Daerah Penghasil Migas, Andang Bachtiar. Menurutnya, gross split ini kenapa tidak diminati oleh The Seven Sister, karena ketidakpastian split yang nantinya akan diterapkan, karena ada diskresi menteri tersebut.
“Saya melihat kenapa The Seven Sister tidak mengambil skema gross split ini, karena melihat ketidakpastian dalam klausul diskresi menteri,” kata Andang.
Andang juga menilai, saat ini belum bisa dilihat hasil skema gross Split karena baru akan dirasakan lima tahun mendatang. Karenanya, ia berharap apa yang sudah dilakukan saat ini akan mencapai hasil yang baik nantinya.
“Kita berprasangka baik saja, yang sudah ada 14 komitmen gross split ini dilakukan eksplorasi nantinya. Tapi mungkin setelah eksplorasi mereka mikir lagi, kalau harga minyak bagus, kemudian dikurangi splitnya karena ada eksplorasi, nanti khawatirnya karena diskresi ini. Jadi ada ketidakpastian,” tutur Andang.
Sementara itu, sebelum-sebelumnya Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, perlahan, skema bagi hasil gross split makin menunjukkan kemajuan yang begitu signifikan. Total, sudah ada 14 blok eksplorasi, 21 blok regular dan 1 blok amandemen yang telah beralih menggunakan sistem gross split. Dari 36 blok tersebut, Pemerintah telah mengantongi investasi migas sebesar USD2,13 miliar dan bonus tanda tangan sebesar USD895,4 juta. Jumlah ini bertambah menjadi 42 setelah ada enam kontrak PSC yang beralih menjadi gross split pada awal Januari lalu.
Arcandra pun menepis tudingan, bahwa penggunaan skema gross split tidak mampu menarik minat para investor. “Tahun 2018 ini blok eksplorasi sudah laku sembilan, tahun 2017 lalu laku 5 (lima). Tahun 2016 dan 2015 laku nol. Kalau ada yang mengatakan sistem gross split tidak cocok untuk blok eksplorasi, ternyata Alhamdulillah tambah tiga,” kata Arcandra.
Selain jumlah blok yang meningkat, investasi skema gross split begitu menarik. Hal ini dibuktikan dengan besaran bonus tanda tangan yang didapat Pemerintah dari kontraktor.
“Selama ini bonus tanda tangan sangat kecil sekali, yaitu USD 500.000. Hari ini kita bisa menjual blok kita, bonus tanda tangan, dua juta dolar. Artinya apa? Tiga kali lipat, empat kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya,” pungkas Arcandra.