Beranda Mineral IMA: Aspek Komersial Harus Masuk Pertimbangan Kebijakan Smelter

IMA: Aspek Komersial Harus Masuk Pertimbangan Kebijakan Smelter

Aspek komersial harus menjadi pertimbangan dalam kebijakan melakukan pemurnian dalam negeri. Untuk tembaga Indonesia perlu belajar dari Cina.

 

Jakarta-TAMBANG. Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) kebijakan pembangunan smeltera harus dikelompokan sesuai dengan karakteristik komoditi dan tidak mengabaikan aspek komersial. Aspek komersial menjadi penting karena perusahaan tambang sebagai entitas bisnis. Hal ini disampaikan oleh Ketua IMA Martiono Hadianto.

 

Martiono yang mantan Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara ini menegaskan pentingnya aspek komersial dalam pembangunan smelter. Dan kondisi sekarang menegaskan hal ini ketika beberapa perusahaan yang membangun smelter terpaksa menghentikan sementara kegiatan pembangunan smelternya. Salah satunya karena harga komoditi dan juga produk smelter yang turun.

 

Martiono kemudian mencontohkan smelter nikel. Ketika perusahaan melakukan kajian harga nikel masih bagun. Namun saat ini harga nikel telah anjlok lebih dari 50% dan banyak perusahaan yang sedang membangun smelter harus menghentikan sementara karena sudah tidak lagi ekonomis.

 

Dalam salah satu wawancara dengan Majalah TAMBANG beberapa waktu lalu Martiono Hadianto mengatakan bahwa Indonesia perlu belajar dari Cina. Secara khusus terkait smelter tembaga. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia belajar dari sana. Mengapat harus belajar dari Cina, Martiono menyebutkan beberapa alasan.

 

Pertama, Cina sudah sejak tahun 1994 mengembangkan teknologi smelter tembaga. “Bahkan pengembangan teknologi itu mereka klaim lebih baik, lebih efisien sehingga investasi lebih rendah. Bahkan bisa menekan biaya hingga 30-40% lebih rendah dibanding menggunakan teknologi barat,”ungkap Martiono.

 

Tidak hanya dari sisi teknologi yang sudah teruji tetapi juga lebih efisiensi sehingga nilai investasinya lebih rendah. “Teknologi mereka pun sudah ramah lingkungan,”jelas Martiono.

 

Seperti diketahui  Cina sekarang telah mempunyai kapasitas smelter tembaga 40% dari kapasitas dunia. Sehingga Cina yang menentukan berapa besarnya biaya mengolah dari konsentrat menjadi tembaga.

 

Selain itu, kemajuan pengembangan kegiatan pemurnian tembaga di Cina bisa berjalan karena dukungan penuh yang diberikan Pemerintah. Menurut Martiono Pemerintah Cina menyediakan infrastruktur mulai dari Jalan, air dan listrik. “Sehingga yang dibangun perusahaan hanya batteray limit atau unit pengolahan itu saja. Sedangkan unit penunjang disediakan pemerintah,”terang Martiono.

 

Kecuali itu untuk investor diberikan berbagai insentif seperti pajak dan pinjaman. Pemerintah Cina bisa menyediakan pinjaman bisa mencapai 70% dari kebutuhan investasi. Kemudian Equity-nya pun dibantu. “Pengusaha tidak hanya mendapat pinjaman jangka panjang tetapi juga pinjaman equity bahkan 60% dari kebutuhan equity bisa dalam bentuk pinjaman. Jadi investor hanya menyediakan sekitar 20%,”tandas Martiono.

 

Dengan segala kemudahan yang diberikan tersebut, smelter tembaga di Cina bertumbuh cepat dan menjadi ekonomi. Tidak heran jika kemudian negeri ini berhasil memproduksi 40% dari keseluruhan kapasitas smelter tembaga dunia.

 

Sementara sampai saat ini Indonesia baru memiliki dua smelter tembaga yang memproduksi copper cathode yakni PT Smelting, Gresik dan PT Batutua Tembaga Raya yang mengoperasi smelter dengan kapasitas 3.000 ton copper cathode per tahun di Pulau Wetar. Smelter ini beroperasi sejak April 2014 silam.

 

PT Freeport Indonesia saat ini sedang dalam proses membangun smelter tembaga yang baru. Lokasi yang dipilih masih di Gresik, Jawa Timur. Nilai investasinya sebesar US$2,3 miliar. Sampai sekarang kemajuannya baru mencapai 13,46% .