Jakarta, TAMBANG – Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) menilai program hilirisasi komoditas tambang yang tengah digembor-gembor pemerintah belum optimal. Pemberhentian ekspor bijih bauksit awal Juni lalu yang tadinya dimaksudkan diolah di dalam negeri, nyatanya pembangunan smelternya masih molor.
“Relaksasi ekspor bijih bauksit yang seharusnya diikuti dengan pembangunan refinery, tidak terjadi sebagaimana yang direncanakan,” ujar Ketua IMEF, Singgih Widagdo dalam keterangannya, Senin (21/8).
Menurutnya, pelarangan ekspor bijih bauksit oleh pemerintah tanpa dibarengi dengan pembangunan smelter, dapat memperlambat pengolahan biji bauksit ke alumina sehingga pendapatan nilai tambah pun melempem.
Karena itu, Panel ahli IMEF menyarankan pemerintah dan kementerian terkait agar memperkuat riset terkait hilirisasi mineral dan batu bara dan juga berbagai riset untuk mengoptimalkan nilai manfaatnya.
“Memperkuat hilirisasi mineral dan batu bara, sebagai langkah penghematan neraca perdagangan, pemberdayaan industri nasional, keterlibatan tenaga lokal dan penyerapan tenaga kerja baik tahap konstruksi dan operasi,” ungkap dia.
Hilirisasi batu bara pun menurut IMEF masih jalan di tempat. Apalagi dalam pelaksanaannya lebih kompleks dibanding dengan hilirisasi mineral, butuh pemilihan teknologi, pendanaan, dan keekonomian, serta penyeimbangan kepentingan bisnis dan kepentingan ketahanan energi ke depan.
“Hilirisasi sektor pertambangan adalah pilihan terbaik dalam mengoptimalkan manfaat pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara untuk kepentingan nasional. Namun dalam pelaksanaannya hilirisasi batu bara bukanlah hal yang mudah dibandingkan dengan hilirisasi mineral,” beber dia.
Semrawutnya hilirisasi batu bara bisa dilihat dari mundurnya Air Products dan Chemicals, Inc dari proyek Dimethyl Ether (DME). Hal ini kemudian menghambat rencana pemerintah dalam pemanfaatan DME sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG).
“Rencana mengurangi devisa negara dari impor LPG dengan memproduksi DME di dalam negeri, sekaligus melakukan diversifikasi energi oleh industri pertambangan batu bara, dipastikan tidak berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan Pemerintah,” ucapnya.
Singgih juga menyebut, RI belum punya teknologi pengolahan dan pemurnian komoditas mineral dan batu bara. Karena itu, dibutuhkan riset mendalam dan detail agar pemerintah bisa menghemat anggaran dalam menyediakan fasilitas peleburan tersebut dari luar baik untuk mineral maupun batu bara.
“Di sisi teknologi hilirisasi, harus diakui, Indonesia belum memiliki teknologi pengolahan dan pemurnian. Apalagi bicara manufaktur teknologi hilirisasi dan riset teknologi secara mendalam. Tanpa memperkuat riset dan membangun manufaktur teknologi hilirisasi, dapat dipastikan kita akan membayar mahal dari akibat yang ditimbulkan,” ungkapnya.
“Bagaimana komitmen nasional untuk mengatasi kondisi ini, khususnya dalam memperkuat hilirisasi untuk mengoptimalkan pengelolaan mineral dan batubara, sebagai pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan,” pungkasnya.