Balikpapan, TAMBANG – Selain komoditas mineral, produk tambang yang juga bakal dihilirisasi adalah batu bara. Alih-alih berkembang seperti nikel, hilirisasi emas hitam itu justru mengalami sejumlah kendala, salah satunya soal limbah yang masih dianggap sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3)
“Batu bara punya potensi untuk ditingkatkan terutama untuk transformasi batu bara, namun salah satu kendalanya adalah klasifikasi dari waste yang masih menjadi isu,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia dalam Indonesia Coal Summit di Balikpapan, Jumat (12/5).
Kata dia, selama ini perihal limbah memang selalu jadi batu penghalang kemajuan program hilirisasi produk tambang, bahkan tidak hanya di komoditas batu bara, melainkan juga di komoditas mineral.
“Ini yang masih menjadi tantangan. Saya kira teman-teman di batu bara apalagi nikel juga pengembangannya, nilai tambahnya dan komoditas lain juga masih banyak terkendala di B3,” ungkap dia.
Sejauh ini limbah sisa pembakaran batu bara atau fly ash bottom ash (FABA) di sejumlah PLTU oleh beberapa perusahaan dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi, campuran semen, paving blok, batako dan sebagainya. Namun demikian, FABA tetap dikategorikan sebagai bahan bahaya dan beracun (B3).
“Meskipun kita telah berjuang selama 10 tahun, fly ash bottom ash sudah ditetapkan jadi nonlimbah B3 yang terdaftar, dan prosesnya hampir sama dengan sebelum ditetapkan jadi B3 itu terdaftar,” ungkapnya.
“Jadi ini tantangan bersama, kita akan terus coba memperjuangkan FABA prosesnya agar lebih cepat untuk waste, coal tar nanti bisa dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan energi hijau,” beber dia.
Salah satu proyek yang manfaatkan FABA PLTU adalah pembangunan jembatan Sungai Sambas Besar di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Berdasarkan uji coba laboratorium yang dilakukan oleh PT Nindya Karya selaku kontraktor proyek FABA PLTU Bengkayang memenuhi Standart Kontruksi Jembatan. Proyek tersebut dilakukan oleh PT PLN Persero.
Selain itu, bentuk hilirisasi batu bara yang memiliki nilai tambah signifikan adalah dimethyl ether (DME), briket, kokas, coal slurry dan sebagainya.
Meski punya segudang manfaat, investor terkemuka Air Products hengkang dari proyek DME PT Bukit Asam dan proyek gasifikasi batu bara ke etanol PT Kaltim Prima Coal (KPC). Dijelaskan, alasan cabutnya perusahaan asal Amerika Serikat itu karena ingin fokus pada bisnis blue hydrogen.