Jakarta-TAMBANG. Harga batu bara yang terus melemah akan mempengaruhi cadangan batu bara yang terus turun. Hal ini tentu akan berimbas pada kesiapan pasokan batu bara untun program 35 ribu MW yang telah dicanangkan Pemerintah. Dan ini telah menjadi kecemasan kalangan pelaku usaha pertambangan batu bara Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI).
Dari kecemasan ini APBI kemudian menggandeng sebuah lembaga Konsultan PricewaterhouseCooper (PwC) untuk melakukan survey. Kesimpulannya bahwa dengan mengacu pada harga batu bara saat ini tidak cukup memasok 20 ribu MW yang masuk dalam mega proyek tersebut.
“Hasil survei mengindikasikan kemungkinan cadangan batu bara nasional dengan harga komoditas saat ini tidak cukup untuk 20 Gigawatt PLTU program kelistrikan nasional 35 ribu MW selama 25-30 tahun,” demikian kata Ketua Umum APBI-ICMA Pandu P. Sjahrir kepada wartawan saat konferensi pers, di Kantor APBI, Jakarta, Senin (7/3/2016).
Pandu menjelaskan, sejauh ini batu bara masih menjadi salah satu sumber energi primadona termasuk listrik karena lebih murah dibanding sumber energi lainnya. Pemerintah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024 menempatkan porsi yang cukup besar untuk batu bara. PLTU menguasai 66 % dari mega proyek Pemerintah saat ini.
“Pemerintah menargetkan batu bara dapat memenuhi sekitar 66% dari sumber energi primer pembangkit listrik nasional di 2024, di mana jumlah tersebut ekuivalen dengan 361 GWh produksi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbasis batubara (PLTU),” tandasnya.
Namun karena harga batu bara saat ini terus melemah maka cadangan yang bisa dieksploitasi pun menurun. Sebut saja saat ini rata-rata Striping ratio menurun dari 7,7 x d tahun 2011 menjadi sekitar 7,5x di tahun 2014. Dan diperkirakan maish akan terus turun di tahun 2016. Semakin rendahnya striping ratio maka akan semakin besar pula batu bara yang ditambang. Namun itu yang harus dilakukan untuk memperbaiki profitabilitas namun akan mengurangi umur tambang.
Menurut Pandu, APBI bersama PWC juga mengindikasikan bahwa proyeksi awal (preliinary projection) cadangan batu bara akan habis sekitar 20 tahun. “Mengindikasikan bahwa cadangan batu bara kita akan habis di 2033-2036. Hal ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU yang umumnya sekitar 20-30 tahun sejak beroperasi,” pungkas dia.
Bukan tidak mungkin ke depan Indonesia bisa saja mengimpor batu bara jika cadangan dalam negeri sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangkit dalam negeri.
Selain itu Pandu juga mengatakan bahwa tantangan dalam pengembangan PLTU ke depan selain pasokan batu bara. Juga terkait dengan keterbatasan pendanaan dari dalam negeri. “Ini akan meningkatkan risiko dominasi perusahaan asing dalam program 35 ribu MW. Ini penting diperhatikan dalam konteks ketahanan energi nasional,”kata Pandu.
Untuk mengatasi masalah pendanaan ini, perlu didorong keterlibatan dana pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga Pemerintah sebagai sumber pendanaan dalam negeri. Terutama untuk proyek-proyek infrastruktur termasuk pembangkit listrik.