TAMBANG, JAKARTA. HARGA batu bara telah menembus batas psikologis, naik melewati angka US$50 per ton. Di saat yang sama, para pengusaha minyak masih deg-degan melihat harga minyak kapan akan stabil, dan di angka yang ekonomis.
Baik harga batu bara dan minyak cenderung turun, bahkan mencapai titik terendah dalam 10 tahun terakhir. Industri kedua jenis energi itu terjebak dalam situasi kelebihan pasokan. Kini harga pelan-pelan membaik akibat produksi berkurang. Namun, sejak Juni lalu, harga minyak dan batu bara nasibnya berbeda.
Sejak 1 Juni, harga batu bara di Rotterdam yang diukur dengan indeks API2 untuk perdagangan ke depan naik lebih dari 20% menjadi US$60 per ton. Ini angka tertinggi dalam satu tahun. Sementara harga batu bara Asia dengan patokan indeks API4 naik 15,6% menjadi $62,60.
Koran India, The Economic Times kemarin sore memberitakan, di saat yang sama harga minyak Brent untuk penyerahan ke depan malah turun 15% menjadi di bawah $45 per barel. Situasi ini sama dengan keadaan di lapangan. Para pemain utama, seperti Saudi Arabia, menawarkan minyak dengan harga diskon, sementara harga batu bara malah dinaikkan.
Minyak saat ini masih menjadi sumber energi terbesar di dunia. Konsumen terbesar adalah Amerika Serikat, dan sektor transportasi. Adapun batu bara dibutuhkan oleh negara-negara berkembang, atau negara industri baru.
Kenaikan harga batu bara yang terjadi saat ini terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan di Cina. Sebanyak 64% kebutuhan energi di Cina dipenuhi dari batu bara. Sementara di India, angka itu 45%.
Tampak bahwa terjadinya kenaikan produksi di Cina dan India, demikian pula bila terjadi pengurangan, akan berdampak besar terhadap harga batu bara internasional.
Di bidang perminyakan, juga ada pengurangan produksi, namun lebih karena kecelakaan, bukan sesuatu yang direncanakan. Misalnya karena adanya sabotase di Nigeria, kebakaran di Kanada. Diperkirakan produksi Nigeria dan Kanada tak lama lagi pulih.
‘’Harga minyak Brent turun sejak awal Juni, karena adanya kebakaran yang menimpa beberapa sumur produksi di Kanada. ‘’Produksi di Nigeria juga akan segera membaik,’’ tulis lembaga keuangan Barclays kepada para kliennya.
Di sisi lain, penambang batu bara di Colombia dan Indonesia, dihadapkan pada beberapa pilihan pahit, memangkas produksi, menutup tambang, atau bangkrut. Hanya pemilik tambang skala besar yang masih bertahan.
‘’Pasokan masih menjadi penentu utama turun naiknya harga komoditi,’’ kata Georgi Slavov, broker komoditi perusahaan pialang Marex Spectron.