Jakarta, TAMBANG – Pemerintah sejauh ini belum memutuskan harga batu bara domestik (Domestic Market Obligation/DMO). Hanya saja beredar kabar, pemerintah akan menetapkan harga batu bara domestik di kisaran USD60 – 70 per metrik ton. Benarkah?
Sedianya pada Kamis (15/2), pemerintah akan menggelar konferensi pers terkait penentuan harga batu bara domestik. Kabar tersebut sudah beredar di kalangan jurnalis satu hari sebelumnya (14/2). Namun beberapa jam sebelum pertemuan berlangsung, beredar kembali informasi pembatalan konfrensi pers tersebut.
Beredar kabar, bahwa belum ada kesepakatan di antara berbagai stakeholders terkait ini, untuk memutuskan DMO yang tepat. Namun jika benar DMO akan ditetapkan dengan harga USD 60-70 per metrik ton, tentu akan berdampak pada kinerja perusahaan tambang batu bara yang selama ini, berkontrak dengan PLN.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa ketika dimintai komentarnya menilai, penetapan harga dengan rentang tersebut dapat menahan biaya produksi listrik PLN.
“Ini mungkin cara pemerintah untuk menahan agar harga listrik tetap sama dan tidak memberikan subsidi langsung kepada PLN. Dengan cara ini Pemerintah memberi subsidi kepada PLN melalui pengaturan harga untuk batu bara DMO,” terang Fabby kepada tambang.co.id.
Di sisi lain, kalangan pelaku usaha pertambangan batu bara menurutnya, akan keberatan dengan kebijakan ini. Maklum saat ini pelaku usaha baru saja menikmati kenaikan harga batu bara. Sejak 2012, harga salah satu sumber energi ini mengalami koreksi yang cukup dalam. Bahkan di Febaruari 2016 HBA sempat menyentuh angka USD50,92 per ton
“Saya kira pengusaha batu bara akan keberatan. Potensi kehilangan pendapatan dari kebijakan ini diperkirakan sekitar USD1,8-3 miliar dengan asumsi HBA sekitar USD80-90 per ton sepanjang tahun ini,”tandas Fabby.
Meski demikian menurut Fabby kerugian ini ditutup dengan penjualan batu bara ke pasar ekspor yang jumlahnya lebih besar. “Ini potensi kehilangan margin tambahan tetapi secara umum pengusaha batu bara menikmati keuntungan yang cukup besar, karena 75 persen dari produksi batu bara untuk pasar ekspor,”terang Fabby.
Perspektif berbeda disampaikan Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) Budi Santoso. “Penetapan harga domestik harus punya konsep, dengan tidak menekan potensi keuntungan pengusaha. Kalau dengan menekan harga, maka pengusaha akan menekan biaya produksi. Hal yang paling mudah adalah dengan menekan stripping ratio, yang otomatis akan menurunkan cadangan nasional dan bahkan biaya-biaya lain seperti untuk lingkungan dan reklamasi,”kata Budi Santoso.
Ia mengusulkan, jika tujuan pemerintah agar listrik murah dan mengurangi subsidi ke PLN maka pemerintah harusnya mengurangi atau bahkan menghilangkan royalti.
“Saya kira tidak susah pemerintah melakukan kajian berapa royalti yang didapat dari batu bara yang dibakar PLN. Serta subsidi yang dibayar pemerintah untuk listrik yang diproduksi dari batu bara yang menjadi objek royalti,” pungkas Budi.
Jika lebih besar atau sama sebaiknya royalty dihapus saja. Kecuali lebih rendah. “Tetapi saya yakin tidak mungkin lebih rendah. Karena dengan mengurangi royalty pengusaha bisa produksi dengan stripping rasio lebih tinggi, dan tentunya akan menyebabkan cadangan nasional akan lebih besar,”katanya.