PT Pertamina Geothermal (PGE) sudah memiliki peta jalan pengembangan listrik panas bumi (PLTP) hingga 2030. Sampai 2019, akan ada tambahan pembangkit listrik panas bumi yang dikelola PGE. Pembangkit itu menjadi bagian dari proyek 35.000 MW.
PERKEMBANGAN panas bumi di Indonesia tidak terlalu mengembirakan karena masih terhalang beberapa kendala. Padahal, Indonesia memiliki potensi panas bumi 40 persen dari panas bumi di dunia, atau sekitar 29.038 megawatt. Namun sampai akhir 2014, pemanfaatannya masih kurang dari 5%, atau baru sekitar 1.341 megawatt.
Padahal, panas bumi termasuk energi ”jujur”. Potensi panas bumi di suatu wilayah, tidak bisa dikapalkan atau dikirim ke tempat lain atau ke negara lain, tetapi harus dimanfaatkan untuk kepentingan elektrifikasi di daerah tersebut.
Selain untuk listrik, uap panas bumi juga bisa dipakai untuk pemanfaatan langsung. Di Kamojang, Garut, Provinsi Jawa Barat, PGE memanfaatkan uap panas bumi untuk budi daya jamur, budi daya anggrek, pengeringan kopi, untuk alat pemotong rumput, dan juga pengecetan kepala sumur.
Untuk mengetahui tantangan dan langkah yang harus dilakukan untuk mengembangkan sektor panas bumi di Indonesia, Majalah TAMBANG mewawancarai Direktur Utama Pertamina Geothermal, Irfan Zainuddin. Irfan, 54 tahun, pernah menjadi komisaris dan ketua komite audit di PT Pertamina Drilling Services. Irfan menjadi direktur utama PT Pertamina Geothermal sejak Mei 2015. Sebelumnya ia adalah wakil presiden perencanaan dan portofolia Direktorat Hulu.
Berikut petikan wawancaranya:
Perlukah geotermal dikembangkan, di saat harga minyak yang rendah?
Pada prinsipnya sekarang ini geotermal harus terus dikembangkan, secepat mungkin dan sebesar mungkin. Energi fosil cadangannya terus turun. Untuk mendapatkannya harus melalui eksplorasi yang makin lama makin sulit. Sekarang orang harus mencarinya di daerah laut dalam, dengan biaya sangat besar.
Di sisi lain, ada energi alternatif, salah satu di antara energi terbarukan adalah geotermal. Potensi yang kita miliki mungkin sudah banyak diumumkan. Itu yang harus kita buktikan. Potensi yang 28 gigawatt di Indonesia ini harus kita kembangkan lagi.
Namun kita tahu, hingga saat ini pemanfaatan geotermal masih di bawah 5 persen. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, mengingat energi fosil sudah jauh menurun. Ke depan, saya pikir geotermal adalah pilihan paling tepat. Tapi memang harus ada kebijakan untuk mendorong industri ini agar bisa berkembang lebih cepat lagi.
Kenapa perkembangan geotermal di Indonesia masih sangat rendah?
Dari sekian permasalahan yang begitu banyak, masalah utama adalah ketertarikan untuk mengembangkannya dari sisi keekonomian. Saat ini skala keekonomian untuk pengembangan geotermal belum menarik investor untuk mengembangkan dan masuk ke sana. Ada beberapa wilayah kerja (WK) yang dimiliki investor, namun pengembangannya belum dilakukan. Hanya Pertamina Gothermal dan beberapa perusahaan lain yang sudah eksis yang melakukannya. Kami, sebagai perusahaan negara harus berada di depan. Kami memang sudah merencanakan ke depan.
Yang kedua, perizinan. Geotermal sebagian besar berada di daerah-daerah hutan yang perlu perizinan khusus untuk mengembangkannya. Di hutan lindung, walau dengan proses yang sangat lama, sudah banyak perusahaan yang mendapat izin untuk beroperasi. Namun di hutan konservasi, itu sama sekali belum bisa kita sentuh, mengingat ketentuan yang tidak memungkinkan untuk beroperasi di sana. Jadi menurut saya ada dua poin masalah penting, yakni skala keekonomian dari proyek itu sendiri dan perizinan.
Kita juga perlu memperbaiki perangkat lain, seperti proses kepemilikan wilayah kerja. kemudian kebijakan-kebijakan lain, seperti insentif yang diperlukan dari pemerintah. Insentif perlu diberikan karena pengembangan geotermal tidak semudah energi lainya. Energi geotermal sangat spesifik, energinya tidak bisa kita kirim ke mana-mana, sehingga harus dikembangkan di daerah itu sendiri.
Bagaimana dengan regulasi baru, khususnya terkait dengan perubahan rezim panas bumi yang sebelumnya masih dikategorikan sebagai rezim pertambangan? Apakah itu cukup membantu perkembangan industri panas bumi?
Saya rasa cukup membantu, tapi itu belum cukup. Harus ada mesin penggerak, baik insentif atau kebijakan yang membuat skala keekonomian pengembangan panas bumi lebih menarik.
Tata cara pengembangan geotermal di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, harus terus diperbaiki sehingga pengembang bisa lebih fleksibel dalam berusaha. Mulai dari tahap awal mereka mendapat wilayah kerja, kemudian perizinan, dan seterusnya, harus lebih mudah lagi.
Terkait regulasi, khususnya UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, ada tiga peraturan pemerintah (PP) yang akan dikeluarkan, yaitu yang terkait pelelangan wilayah kerja pertambangan (WKP), bonus produksi, dan yang terkait pemanfaatan langsung. Kemudian yang terkait dengan konservasi, harusnya ada peraturan Menteri Kehutanan, yang menempatkan kegiatan panas bumi sebagai jasa lingkungan. Tetapi sampai sekarang belum ada. Seharusnya sudah dibuatkan, sehingga semakin membuka jalan bagi pengembangan panas bumi.
Saat ini, pengembang berharap pemerintah benar-benar melaksanakan ketentuan. Pengembang panas bumi masih menunggu kebijakan lanjutan dari pemerintah.
Arahnya memang sudah lebih baik. Misalnya pemerintah juga sudah bisa mendeteksi, berdasarkan pengalaman yang telah ada, bahwa kemungkinan adanya pengembang nakal, yang hanya mendapatkan WKP, tetapi tidak melaksanakannya. Ketegasan sikap pemerintah akan ikut membantu percepatan pengembangan panas bumi.
Insentif yang dibutuhkan seperti apa?
Sebenarnya intinya adalah bagaimana agar proyek panas bumi menjadi lebih menarik dan berkembang dari sisi keekonomian. Kemudahan dari sisi investasi diperlukan, sehingga investasi bisa lebih cepat kembali. Kemudian ada bonus produksi dan perlakuan khusus, karena panas bumi bukan energi biasa.
Pemerintah mengklaim bahwa harga listrik panas bumi di Indonesia, sudah termasuk yang terbaik. Bagaimana menurut Anda?
Harga memang baik, tetapi baru sebatas batas atas, yakni pada harga jual. Proses implementasinya harus dilihat kembali. Seharusnya ada rentang harga, bukan hanya batas atas tetapi juga batas bawahnya. Kemudian pada saat kita mendapatkan tender, tidak murah-murahan harga.
Dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, akan lebih mudah lagi, sehingga negosiasi harga bukanlagi hal yang dominan, karena sudah ada ketentuan sebelumnya. Hal ini seperti yang terjadi di pembangkit lain seperti pembangkit listrik mulut tambang dan hidro. Kami berharap, kebijakan itu juga berlaku di panas bumi.
Pola seperti ini akan lebih atraktif. Apalagi dengan pola pembeli tunggal seperti di Indonesia. Kalau tidak ditentukan sejak awal, pertimbangan orang akan macam-macam. Bisa jadi yang penting dapat WKP dulu. Walaupun ini sudah diantisipasi oleh Direktorat Jenderal EBTKE dengan ketentuan, tidak boleh mengganti partner selama masa eksplorasi.
Apakah Pertamina Geothermal sudah benar-benar siap bersaing dengan pengembang panas bumi lain?
Pertamina sudah sangat siap, selama kebijakan yang dikeluarkan memang adil. Kami sudah punya area di wilayah eksisting. Sekarang kami memiliki enam proyek yang sudah berjalan. Di Lahendong (Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara) ada 2×20 MW, di Lumut Balai (Sumatera Selatan) ada 2×55 MW, kemudian Karaha (Jawa Barat) pada 2016, Ulubelu (Tanggamus, Provinsi Lampung), Hulu Lais (Bengkulu) dan juga Sungai Penuh (Jambi). Karena itu, kami berharap energi panas bumi tidak dipandang sebagai energi biasa. Energi yang masuk kategori energi hijau seperti panas bumi, harus ada perlakuan khusus.
Kalau kontribusi PGE ke untuk energi nasional berapa besar?
Sekarang total keseluruhan listrik terpasang dari panas bumi sebesar 1.437 MW. Dari PGE sekitar 437 MW, dan akan terus ditingkatkan. Kami harapkan pada 2017 terjadi peningkatan sebesar 680 MW dan di 2019 sebesar 952 MW. Ada tambahan setiap tahun. Ini bukan hanya dilakukan PGE, tetapi juga oleh teman-teman lain. Tetapi kami, PGE, akan berada di depan untuk mengoptimalkan potensi panas bumi di Indonesia.
Bagaimana pembiayaan proyek-proyek tersebut?
Untuk enam proyek tersebut, total investasi kami sebesar US$ 2,5 miliar. Ini untuk pengembangan sampai 2019. Bahkan akan terus ada sampai 2030. Kami sudah punya peta jalan sampai 2030. Banyak institusi keuangan yang berharap ikut terlibat. Tetapi kami juga selektif.
Pendanaan, mereka kebanyakan masuk ke hilir. Pada saat eksplorasi pendanaan agak sulit, karena memang mereka ingin uangnya cepat kembali. Semua banyak yang masuk saat bangun PLTP. Karena saat eksplorasi dana yang dibutuhkan sangat besar. Tetapi kami yakin dengan pengalaman, banyak institusi pendanaan yang mau ikut ambil bagian. Bank Dunia misalnya, secara rutin memberikan pendanaan.
Untuk program 35 ribu MW, sebagian berasal geotermal, di antaranya dari proyek-proyek yang sedang dikerjakan PGE. Pada 2019, proyek itu sudah menghasilkan listrik.
Sempat ada usulan pembentukan BUMN Geothermal. Komentar Anda?
Ini tugasnya korporasi yang menjawab. PGE adalah anak usaha Pertamina. Seratus persen dimiliki oleh negara. Saya di sini mendapatkan tugas untuk menjalankan saja. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan dan saya ingin fokus pada target yang sudah direncanakan. PGE sudah memiliki pengalaman, memiliki SDM yang sudah teruji. Sekarang tinggal bagaimana regulasi yang dbuat mendukung kegiatan panas bumi agar lebih atraktif lagi.
Pemerintah memperkenalkan metode perizinan satu pintu. Apakah itu sudah cukup membantu?
Perizinan satu pintu, terutama terkait alurnya, sudah cukup membantu. Kami tidak perlu ke banyak institusi, cukup ke BKPM dan mereka yang akan mendistribusikan. Kami juga bisa melihat, sudah sejauh mana perjalanan proses perizinan yang sudah kami ajukan.
Tetapi memang untuk pertanahan, masih ada yang mengganjal. Hal cukup krusial adalah saat pembebasan lahan. Ada ketentuan di pertanahan, yang membedakan antara PMA dan perusahaan nasional. PMA bisa masuk melalui program satu pintu, sementara perusahaan nasional harus melewati tahapan seperti biasanya.
Seharusnya, kalau kegiatan pengembangan panas bumi dianggap strategis, hambatan itu tidak ada lagi. Tidak ada perbedaan antara PMA dan non-PMA. Seharusnya, nasional yang diprioritaskan. Kenyataannya, masih belum. Ini mungkin yang masih menjadi hambatan.