JAKARTA, TAMBANG. HAMPIR US$ 1 triliun investasi di pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, akan menjadi sia-sia, bila kebijakan pengontrolan polusi dan emisi karbon dilaksanakan. Pembangkit itu akan teronggok tak digunakan.
Saat ini sekitar 1.500 pembangkit listrik baru sedang dalam konstruksi, atau dalam tahap perencanaan di seluruh dunia. Sayangnya, pemakaian energi fosil untuk pembangkit listrik di dunia, akhir-akhir ini berkurang.
Laporan dari tiga kelompok: Sierra Club, Greenpeace, dan CoalSwarm menyimpulkan bahwa pembangkit listrik di Cina saat ini hanya dipakai 50% dari kapasitas tersedia. Pemakaian batu bara juga berkurang. Izin pembangunan pembangkit listrik dihentikan di separuh provinsi di Cina. Total ada 250 pembangkit yang terpengaruh kebijakan baru ini.
Laporan baru yang kedua menunjukkan, Cina, India, Indonesia, dan Vietnam, hanya membangun kurang separuh dari pembangkit yang direncanakan semula. Empat negara tersebut merupakan negara dengan jumlah pembangkit listrik baru terbanyak yang direncanakan.
Meski demikian, pada tahun lalu, terdapat 84 gigawatt pembangkit baru yang dibangin. Beberapa pembangkit baru juga tengah mulai masuk masa uji coba produksi, dengan kapasitas lima kali lebih besar daripada pembangkit lama yang ditutup, seperti di Inggris.
Sektor batu bara, sebagaimana dimuat koran The Guardian hari ini, lunglai akibat dipukul rendahnya harga, serta dikepung oleh beragam peraturan yang sangat ketat. Peraturan itu dibuat demi mengurangi emisi karbon, memangkas polusi udara, serta meredam pemanasan global. Akibat berbagai krisis itu, awal Maret ini, perusahaan batu bara terbesar di Amerika Serikat, Peabody Energy, bangkrut.
‘’Era kejayaan batu bara mendekati akhir,’’ kata Nicole Ghio dari Sierra Club, organisasi lingkungan dari San Fransisco, Amerika Serikat, yang umurnya sudah seabad lebih. Bank investasi terkemuka, Goldman Sachs, Januari tahun lalu mengumumkan bahwa batu bara sudah mendekati ‘’masa pensiun’’. Batu bara juga menghadapi pesaing baru, harga listrik dari energi terbarukan yang makin murah.
‘’Riset ini menunjukkan ratusan miliar dolar akan sia-sia digunakan membangun pembangkit batu bara yang tak diperlukan. Demi kesehatan dan keselamatan, saat ini terjadi transisi menuju energi bersih,’’ kata Ted Nace Direktur CoalSwarm. CoalSwarm ini juga organisasi lingkungan berpusat di San Fransisco, Amerika Serikat, yang menyoroti dampak pemakaian batu bara bagi manusia.
Dari hasil riset, investasi pembangunan pembangkit baru berbahan bakar batu bara totalnya $981 miliar. Tidak semuanya akan dibangun.
Laporan kedua, dari lembaga Unit Penyelidikan Iklim dan Energi (ECIU), dari Inggris menunjukkan, di Cina, India, Indonesia, dan Vietnam, kurang dari separuh dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang direncanakan yang akan dibangun.
Lembaga ini melaporkan, pembangunan akan dikurangi cukup banyak karena baik India maupun Cina telah memiliki pembangkit listrik lebih banyak dari kebutuhan, keprihatinan terhadap polusi udara, serta sulitnya mendapatkan pembiayaan.
Kesepakatan di Paris, Desember lalu, juga memicu negara-negara yang rakus akan bahan bakar energi itu membuat pembangkit listrik berbahan bakar karbon rendah.
Di India, laporan lembaga dari Inggris itu menyebutkan, empat rencana pembangunan pembangkit batu bara digagalkan. Pajak karbon juga telah diterapkan.
Penyusun laporan ECIU, Gerard Wynn, konsultan pada GWG Energy mengatakan, ‘’Bukt-bukti menunjukkan bahwa peralihan dari energi fosil ke energi bersih berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan siapapun.’’
‘’Duit bergerak cepat, menjauh dari batu bara. Investor kakap seperti JPMorgan Chase dan lembaga dana pensiun dari Norwegia menarik diri dari batu bara,’’ kata Richard Black, Direktur ECIU.
Akan tetapi, Kepala Eksekutif Asosiasi Batu Bara Dunia, Benjamin Sporton berpendapat, pemakaian batu bara untuk pembangkit listrik akan tumbuh lagi di masa depan.
‘’Hitungan Badan Energi Internasional (IEA), listrik dari batu bara akan tumbuh 24% dari saat ini pada 20140, terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi Asia,’’ katanya. ‘’Kita sebaiknya tidak memikirkan bagaimana mengakhiri pemakaian batu bara,’’ lanjutnya.
Yang harus dilakukan, kata Benjamin Sporton, adalah bagaimana mengurangi emisi. Jawabannya adalah pada efisiensi pemakaian batu bara. Efisiensi pemakaian batu bara bisa memangkas emisi karbondioksida sebanyak dua gigaton. ‘’Itulah cara paling efektif mengurangi emisi karbon,’’ katanya.