Pangkalpinang,TAMBANG,- Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong hilirisasi sektor mineral dan batu bara. Semangat ini diperkuat dalam UU No.3 Tahun 2020 yang merupakan revisi atas UU No.4 tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sejauh ini hasil dari konsistensi kebijakan hilirisasi ini sudah terlihat dari banyaknya industri pengolahan komoditi tambang yang terbangun dalam negeri.
Meski demikian menjelang Perayaan Hari Pertambangan yang ke-77 pada 28 September, Ditjen Minerba menyelenggarakan diskusi Hilirisasi Minerba dengan tema Industrialisasi Mineral Menuju Indonesia Emas. Kegiatan ini diadakan dengan tujuan meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder pertambangan dalam mewujudkan hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara demi mewujudkan industrialisasi.
Dalam sambutannya Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa kegiatan diskusi ini merupakan wadah kolaboratif semua pemangku kepentingan untuk terus mewujudkan industrialisasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara. “Dalam semangat Hari Jadi Pertambangan yang ke-77, saya ingin menyampaikan terima kasih pada semua insan pertambangan dan energi yang telah berkontribusi dalam investasi, inovasi dan melakukan berbagai upaya terbaik untuk kemajuan sektor ini,”tandas Menteri Arifin.
Indonesia menurut Menteri Arifin telah diberkahi dengan sumber daya alam yang cukup melimpah khususnya mineral dan batu bara. Ia lantas mengingatkan sesuai amanat UUD tahun 1945 pasal 33 ayat 3, mineral dan batu bara sebagai bagian dari sumber daya alam harus dikelolah, dikendalikan dan dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Salah satunya lewat kegiatan hilirisasi atas produk tambang.
Pemerintah akan terus mendorong kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi serta membangun industri nasional yang kuat dan berdaya saing. “Kewajiban hilirisasi yang melekat pada industri pertambangan adalah untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil tambang, memberikan hasil optimal bagi negara dan masyarakat,”tandas Mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang ini.
Ia kemudian menegaskan hilirisasi tidak hanya sampai pada produk setengah jadi. Tetapi melangkah lebih jauh sampai ke produk paling akhir dari pohon industri. “Indonesia memiliki keunggulan komparatif terkait dengan cadangan mineral seperti nikel dan kobalt untuk bahan baku bagi kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan. Kemudian komoditi tembaga yang bisa diproses sampai produk akhir dalam mendukung transisi energi dari berbasis fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan,”katanya.
Sementara Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Ridwan Djamaluddin dalam sambutannya menegaskan beberapa hal terkait hilirisasi di sektor mineral dan batu bara. Pertama, Industri pertambangan saat ini tidak lagi berbicara tentang gali jual tetapi juga sudah termasuk pengolahan. “Dalam bahasa saya dan teman-teman bahwa saat ini pertambangan bukan lagi urusan anak-anak geologi dan anak-anak tambang. Tetapi sudah menjadi urusan teman-teman teknik kimia, mesin, sipil, elektro,”tandasnya.
Hal kedua, kebijakan pemerintah sejak Januari 2020 terkait larangan ekspor bijih nikel sudah terlihat dampaknya. Selain nilai tambah juga ada konsekwensi terkait investasi. “Kita tidak hanya melihat bahwa kita akan mendapat nilai tambah sekian tetapi juga uang siapa yang dipakai diawal sampai dapat nilai tambah,”tandas Ridwan yang saat ini juga menjabat Plt Gubernur Bangka Belitung.
Oleh karenanya Ridwan mengingat untuk juga menjaga iklim investasi agar hilirisasi yang sudah berjalan ini berkesinambungan.
Selain itu, Ia juga mendorong stakehoder pertambangan untuk mengembangkan teknologi dalam negeri sehingga tidak lagi terlalu bergantung dari luar. Kenyataannya sampai hari ini Indonesia masih bergantung pada teknologi dari luar. “Kami harap orgasisasi profesi mendorong ke arah sana agar semakin menurun kebutuhan kita terhadap teknologi yang berasal dari luar. Apa yang bisa kita lakukan sendiri, harus kita lakukan,”imbuhnya.
Dari sisi operasional, Dirjen Minerba menyebut ada banyak hal yang harus diselesaikan termasuk kendala-kendala dalam operasional. Ia juga mengingatkan kembali tentang larangan ekspor atas beberapa komoditi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. “Bauksit sudah mulai disebut-sebut Presiden sehingga pelaku usaha sudah harus bersiap, apa yang bisa dilakukan ke depan. Kita sudah melihat beberapa rencana besar tetapi rencana besar saja tidak cukup sehingga butuh rencana lebih detail,”katanya.
Demikian juga dengan komoditi timah dimana Presiden juga sudah menyampaikan rencana larangan ekspor. “Makanya diskusi ini kita adakan di Pangkalpinang karena secara nyata PT Timah sedang membangun ausmelt. Saya terima kasih pada PT Timah. Di luar 53 smelter yang dipantau, ada smelter yang dibangun PT Timah yang seolah-olah di luar pantauan,”ujarnya.
Dalam konteks timah, mungkin PT Timah akan mengatakan bahwa produk yang ada saat ini dihasilkan oleh smelter miliknya sudah mencapai kadar 99,9 persen. “Tetapi yang kita lihat adalah aspek lain. Smelter milik PT Timah sudah dibangun sejak 1971. Lihat apa kemajuan setelahnya. Jadi tidak semata-mata dari aspek bisnis tetapi dampak ganda lain seperti penciptaan lapangan kerja,”katanya lagi.
Meski demikian Ridwan mengingatkan terkait rencana larangan ekspor untuk beberapa komoditi, perlu dilihat aspek lain. Sebut saja Propinsi Bangka Belitung ini sangat besar ketergantungannya pada industri timah baik dampak langsung seperti royalty dan penerimaan lain maupun dari sisi lapangan kerja. “Kalau terjadi kegoncangan karena ada kebijakan laangan ekspor sementara industri penyerap dalam negeri tidak siap dampaknya malah akan menjadi tidak baik. Sehingga kita harus mempersiapkan dengan baik,”ungkapnya.
Ia pun menambahkan, “Saya usul setelah kegiatan ini dibentuk tim kecil yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Asosiasi, Para pakar untuk merumuskan kalau mau ditutup semua skenarionya harus seperti apa,”pungkasnya.