Beranda Mineral Freeport McMoran Masih Menunggu Kepastian Izin

Freeport McMoran Masih Menunggu Kepastian Izin

TAMBANG, JAKARTA. FREEPORT McMoran dilanda ketidakpastian terhadap kelanjutan operasinya di Grasberg, Papua, setelah terjadi pergantian kabinet. Situs berita pertambangan, Mining.com, kemarin  memberitakan dengan judul ”More Grasberg Uncertainty for Freeport”. Ketidakpastian itu mencuat setelah adanya pernyataan Luhut Pandjaitan, yang sejak pekan lalu dilantik menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman. Salah satu wilayah kerjanya adalah mengurusi masalah pertambangan.

 

Dalam pernyataannya kepada wartawan, Rabu lalu, Luhut mengatakan, Freeport tidak boleh menekan Pemerintah Indonesia. Kalimat itu disampaikan dalam kaitannya dengan perpanjangan kontrak Freeport di Grasberg, yang berakhir tahun 2021. Freeport membutuhkan secepatnya kepastian perpanjangan kontrak, mengingat besarnya investasi yang diperlukan untuk mengembangkan tambang bawah tanah itu.

 

“Berdasar Undang-Undang yang ada, saya kira mereka juga tidak bisa bilang apa-apa hanya karena kami pada 2019 baru bisa mengevaluasi status Freeport,” kata Luhut. Jenderal Kopassus itu meminta dengan tegas agar Freeport tidak mendesak Pemerintah Indonesia‎ untuk memberikan kepastian perpanjangan masa operasi dalam waktu dekat.

 

Sesuai peraturan yang ada, kepastian perpanjangan kontrak baru untuk masa kerja 20 tahun berikutnya bisa dibuat tahun 2019, dua tahun sebelum berakhirnya kontrak lama.

 

Perusahaan tambang dari Australia, Rio Tinto, memiliki perjanjian dengan Freeport untuk mendapatkan 40% produksi Freeport. Kerjasama Freeport dengan Rio Tinto menyebutkan, Rio Tinto memiliki hak untuk mendapatkan 40% bagian produksi di atas kualitas tertentu, sampai tahun 2021, dan untuk semua kualitas setelah 2021. Rio Tinto juga memiliki perwakilan di komite teknik serta operasi.

 

Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1972, dan menambah di Grasberg selama hampir 30 tahun. Untuk ekspansi Grasberg, serta pembuatan smelter, Freeport akan menggelontorkan dana sekitar US$ 17 miliar. Angka yang sangat besar.

 

Kepusingan lain yang dihadapi Freeport adalah setiap enam bulan, Freeport harus berunding untuk mendapatkan izin ekspor. Izin ekspor yang berlaku sekarang, sudah habis berlakunya pekan depan. Freeport harus memperbarui izinnya dengan Menteri ESDM yang baru.

 

Masalah lain yang dihadapi Freeport adalah soal divestasi. Freeport menaksir nilai 100% sahamnya adalah US$ 16,3 miliar. Dengan demikian, bila Pemerintah Indonesia ingin membeli 10% sahamnya, harganya adalah US$ 1,63 miliar. Tapi Pemerintah Indonesia hanya menilai US$ 1 miliar di bawahnya.

 

Isu lainnya adalah rencana Pemerintah Indonesia untuk merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara 2009. Revisi itu diperkirakan rampung akhir tahun ini. Freeport, dan perusahaan tambang lain di Indonesia, harus menyesuaikan dengan undang-undang yang baru.

 

Freeport mengurangi proyeksi produksi tembaga dan emas dari Grasberg tahun 2016 ini. Produksi bijih tembaga proyeksinya diturunkan, dari 1,4 miliar pounds menjadi 1,3 miliar pounds. Produksi emas pun juga dikurangi 8% dari proyeksi semula 1,8 juga ounces.

 

Sumber foto: www.ptfi.co.id