Jakarta, TAMBANG – Ekonom Faisal Basri melontarkan kritikannya terkait mekanisme lelang pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Menurutnya, tata cara memberi uang jaminan di awal eksplorasi akan menghambat investasi.
“Harusnya masuk dulu, kemudian dipelajari, (misalnya) kamu mau 1 juta lahan konsensi nanti bayar sekian. Nanti kalau satu tahun tidak menemukan (cadangan) lahannya dikembalikan (diciutkan),” kata Faisal dalam acara seminar bertema ‘Sejarah dan Manfaat Investasi Asing di Sektor Pertambangan’ di Jakarta, Selasa (15/5).
Sebelumnya, pemerintah telah merilis banderol harga untuk Kompensasi Data Informasi (KDI) lahan WIUP dan WIUPK tahun 2018. Angkanya mencapai Rp4,095 triliun. Harga tersebut berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1805.K/30/Mem/2018.
“Dengan skema ini negara akan mendapatkan kompensasi di awal, seperti halnya signature bonus pada lelang wilayah kerja migas,” ujar Dirjen Minerba Kementerjan ESDM, Bambang Gatot Ariyono beberapa waktu lalu.
Di tengah aktifitas eksplorasi yang sedang lesu, kebijakan ini dinilai akan semakin menurunkan gairah investasi untuk eksplorasi. Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) di Australia, Adi Maryono menjelaskan soal potensi eksplorasi yang bisa dijadikan sumber pendapatan negara atau profit center.
Menurut Adi, caranya bukan dengan memasang tarif di muka, tapi dengan menarik iuran yang besarannya disesuaikan dengan luas lahan konsesi.
“Kita buat iuran USD10 ribu per hektar (laham konsesi),” jelas Adi.
Dia mengilustrasikan, dari USD10 ribu itu tinggal dikalikan total luas lahan dari pemegang izin atau kontrak yang saat ini jumlahnya mencapai 8 ribuan. Baik bentuknya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Kontrak Karya (KK), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus.
“Orang bawa uang masuk ke rumah kita, ya biarkan masuk saja. Biarkan dia masuk, memilih area dan menentukan luas area. kita tarif per heltarnya nanti,” sambung Adi.
Lebih lanjut, Adi juga menyinggung soal potensi mineral di Indonesia. Tambang Grassberg di Papua, menempati urutan pertama dunia sebagai penghasil tembaga sekaligus emas. Kalau tembaga saja, Grassberg menempati posisi lima besar.
“Depositnya lebih dari 160 ton. Di dunia ini yang memiliki deposit 5 juta ons (setara 160 ton) hanya 4 persen, dan indonesia punya beberapa titik yang memiliki deposit lebih dari 5 juta (ons),” pungkas Adi.