Jakarta-TAMBANG. Anjloknya harga komoditas pertambangan dunia semakin membuat perusahaan tambang batu bara dan mineral semakin tercekik. Belum lagi bila memperhitungkan biaya produksi yang juga semakin meningkat. Dari total kebutuhan, biaya energi mencapai 40%.
Jim Schnieders, Country Manager dan Vice President untuk Black & Veatch di Indonesia mengatakan, perusahaan ini sebaiknya berhati-hati dalam memperhitungkan biaya energi karena energi juga merupakan bagian dari pengeluaran operasional perusahaan tambang yang selalu meningkat.
Dengan adanya biaya pengiriman bahan bakar solar ke lokasi pertambangan yang terpencil, serta masalah ketersediaan dan keandalan jaringan listrik, penyediaan tenaga listrik swasembada dan pemanfaatan energi terbarukan dapat dijadikan solusi. Maka dari itu, pemanfaatan energi terbarukan sebagai solusi pelengkap menjadi semakin diminati oleh perusahaan pertambangan.
Sumber energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air, angin, serta tenaga surya, telah menjadi bagian penting dalam penyediaan sumber daya listrik yang lebih luas di berbagai daerah pertambangan utama di seluruh dunia, seperti di A.S., Kanada, Australia dan Chile.
“Energi terbarukan dapat melengkapi pembangkit listrik bertenaga disel bagi pertambangan di Indonesia, yang menggunakan bahan bakar non-subsidi dan menjadi sumber biaya yang besar. Beban biayanya sangat terasa di daerah terpencil yang tidak tersedia jaringan listrik,” ujar Jim dalam keterangan persnya, Rabu (8/7).
Selain itu meski sambungan ke jaringan listrik tersedia, keandalan dan konsistensi penyalurannya juga merupakan hal yang kritikal. Padamnya listrik dapat berdampak fatal terhadap produktivitas sebuah tambang yang beroperasi 24 jam seminggu penuh. “Pengiriman bahan bakar solar ke area terpencil di Kalimantan Tengah dan Timur, misalnya, juga ke pulau-pulau di Indonesia bagian timur, membutuhkan biaya sangat mahal dan penuh tantangan akibat infrastruktur yang tidak memadai, serta seringkali terkendala cuaca buruk seperti hujan lebat dan gelombang tinggi,” kata Jim.
Pada Konferensi Pertambangan Indaba 2015 yang diadakan di Cape Town, Afrika Selatan, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menghimbau para pemimpin industri pertambangan untuk menyadari pentingnya cadangan energi yang aman, mencukupi, dan berkelanjutan bagi pertumbuhan di Afrika. Sementara itu di Indonesia pelaku usaha tambang menekankan pentingnya persediaan listrik untuk kegiatan operasional pertambangan. Mereka menyarankan agar penghematan dari pengurangan subsidi bahan bakar yang sedang dilaksanakan bisa dialihkan ke infrastruktur, termasuk pembangkit listrik.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga sudah berpesan agar perusahaan pertambangan mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau energi terbarukan mereka sendiri. Solusi dari pengadaan listrik swasembada ini adalah dengan mencari sumber daya listrik dengan kualitas keandalan dan ketersediaan yang lebih baik melalui Independent Power Plant (IPP) dengan pendanaan swasta yang mendapatkan alokasi pengembangan 25,000 MW dari keseluruhan 35,000 MW yang direncanakan oleh pemerintah pada 2019.
Indonesia Telah Menggunakan PLTA
Sejumlah perusahaan pertambangan telah mematuhi anjuran untuk swasembada listrik tenaga panas bumi atau menggunakan tenaga listrik melalui IPP sehingga mengurangi beban jaringan listrik yang tersedia. Menurut Jim, Black & Veatch telah melihat bagaimana energi terbarukan bisa menjadi sumber energi yang lebih unggul di berbagai belahan dunia dan dapat melengkapi sumber listrik bagi para pengguna industri besar di Indonesia. Sudah banyak contoh PLTA yang telah digunakan misalnya, fasilitas peleburan dan pengolahan bijih nikel pada pertambangan di Sorowako.
“Reformasi pasar dan tekanan harga komoditas global saat ini telah menciptakan kebutuhan akan energi terbarukan terutama karena meningkatnya kebutuhan untuk menghemat biaya serta permintaan publik dan pemegang saham untuk menurunkan emisi rumah kaca.”
Menggabungkan energi terbarukan dengan pembangkit listrik tradisional dapat menurunkan konsumsi bahan bakar yang mahal misalnya dengan memproduksi listrik menggunakan tenaga surya pada siang hari dan menggunakan batu bara atau disel pada malam hari. Saat sistem terbarukan ini tidak mampu memproduksi listrik pada malam hari, generator disel memastikan kebutuhan daya listrik tambang terpenuhi tanpa mengalami gangguan.
Menambahkan energi terbarukan memang membutuhkan biaya modal namun investasi ini dapat menciptakan penghematan biaya secara keseluruhan untuk jangka panjang. Tergantung pada lokasi dan kesesuaian energi terbarukan yang tersedia, sistem pembangkit listrik energi terbarukan dengan penetrasi rendah hingga menengah dapat diintegrasikan dengan sistem pembangkit listrik disel untuk memenuhi 10% hingga 30% kebutuhan listrik di pertambangan.
Hal ini akan berdampak langsung pada penghematan biaya dan pengiriman bahan bakar yang dibutuhkan. Sistem operasional pertambangan seperti ini dapat menghasilkan perkiraan biaya dan resiko yang lebih akurat sehingga biaya modal pemasangan teknologi energi terbarukan dapat tertutupi.
Jim menggambarkan solusi yang saling menguntungkan, selain memastikan ketersediaan cadangan listrik, perusahaan tambang di Indonesia juga memiliki kesempatan untuk membuktikan keberlanjutan bisnis yang lebih progresif ketika membuat perencanaan dan berinvestasi di masa depan.
“Yang terpenting, perusahaan pertambangan dapat memegang kendali terhadap biaya saat pasar mengalami banyak perubahan dan tuntutan. Faktor lingkungan yang menguntungkan seperti melimpahnya tenaga air atau surya di Indonesia menjadikan energi terbarukan sebagai solusi tambahan bagi investasi perusahaan tambang dari segi biaya dan keandalan cadangan listrik.”