Jakarta-TAMBANG. Ekspor batu bara dari Indonesia sepanjang periode Januari-September 2015 tercatat sebanyak 235 juta ton atau anjlok 19,8% dibandingkan dengan ekspor pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 293 juta ton.
Hasil sebaliknya terjadi dalam penyerapan batu bara untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). DMO per 30 September pada tahun ini tercatat naik 9,84% dari 61 juta ton pada periode yang sama tahun lalu menjadi 67 juta ton.
Adapun total produksi batu bara pada periode Januari-September 2015 baru mencapai 308 juta ton, termasuk sisa stok yang belum terjual sebanyak 6 juta ton. Jumlah tersebut masih sebesar 72,47% dari target yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebanyak 425 juta ton.
Direktur Pembinaan Pengusahan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Adhi Wibowo mengatakan, rendahnya ekspor tersebut disebabkan berkurangnya permintaan dari beberapa negara konsumen, terutama Tingkok. Hal tersebut disebabkan situasi perekonomian global yang masih lesu.
“Banyak yang turun (impor), tapi utamanya Cina,” katanya akhir pekan lalu.
Anjloknya kinerja ekspor tersebut membuat pemerintah pesimis bahwa target produksi tahun ini bisa tercapai. Bahkan, realisasi hingga akhir tahun diprediksi berada di bawah angkka 400 juta ton. “Mungkin sekitar 390 juta ton, tapi itu kan memang batas bawahnya. Kalau batas atas di 425 juta ton rasanya sulit tercapai,” ujarnya.
Rendahnya realisasi produksi tersebut memang sudah diprediksi sejak pertengahan tahun. Pasalnya, banyak perusahaan yang sudah mengajukan pengurangan produksinya. Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pun saat ini tengah mengevaluasi permohonan tersebut untuk dicantumkan dalam revisi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) masing-masing perusahaan.
Rencana pengurangan produksi tersebut merupakan imbas dari terus melemahnya harga emas hitam tersebut. Harga batu bara acuan (HBA) periode Oktober 2015 berada di level US$ 57,39 per ton atau turun 1,4% dibandingkan dengan HBA bulan lalu senilai US$ 58,21 per ton.
Nilai tersebut merupakan yang terendah sejak pemerintah menetapkan HBA setiap bulan mulai Januari 2009. Adapun sejak awal tahun ini, HBA telah anjlok hingga 7,26% dari US$ 64,65 pada Desember 2014.
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), Irwandy Arif menilai penurunan produksi tersebut sebagai sesuatu yang wajar. “Menurut saya ini sebagai upaya beberapa perusahaan untuk sustainable dengan meminimumkan kerugian. Ada juga tambang-tambang yang sudah tidak beroperasi,” katanya.
Adapun penurunan produksi tersebut menjadi salah satu upaya juga untuk mengembalikan harga ke posisi yang lebih baik. Pasalnya, pasokan batu bara dunia sudah jauh melewati permintaan.