Beranda Korporasi Ekspansi ELSA Di Era Transisi Energi

Ekspansi ELSA Di Era Transisi Energi

Jakarta,TAMBANG,-CUACA yang cepat berubah, Bumi yang dirasakan semakin panas menjadi suatu yang dirasakan saat ini. Paling anyar yang juga jadi perhatian adalah pencairan gletser di beberapa tempat. Salah satunya pencairan gletser Iver di dekat puncak gunung El Palmo, Pegunungan Andes, Chile. Suatu yang belum pernah terjadi selama ini atas gletser Iver.

Semua hal di atas menjadi tanda adanya perubahan iklim yang sedang terjadi di bumi kita. Tidak hanya itu, hal tersebut juga telah mempengaruhi banyak  dalam kehidupan makhluk di bumi ini. Lembaga kajian energi internasional, International Energy Agency (IEA) dalam World Energy OutlookSpecial Report yang dirilis pada Mei silam menyebutkan bahwa perubahan iklim ini telah memengaruhi kehidupan dan mata pencaharian di seluruh dunia, memberikan tekanan tambahan pada biaya hidup. Untuk semua ini masyarakat miskin dan rentan berada di garis depan yang akan terkena dampak.

Secara sederhana perubahan iklim terjadi karena adanya emisi yang ditimbulkan diantaranya oleh penggunaan bahan bakar fosil. Kendaraan yang menggunakan BBM, pembangkit listrik yang menggunakan Batubara, melepas gas rumah kaca ke atmosfir. Gas rumah kaca inilah yang menjadi seperti selimut bagi bumi. Selimut ini menjebak panas matahari dan membuat suhu bumi naik.  

Oleh karenanya ketika masyarakat global mendorong pengurangan emisi maka yang jadi sasaran adalah bahan bakar fosil. Muncullah upaya bersama dalam bentuk yang dinamakan transisi energi. Kenapa energi karena energi menjadi penyumbang terbesar dari emisi karbon. IEA menyebutkan bahwa operasi minyak dan gas menyumbang hampir 15% emisi gas rumah kaca yang terkait dengan energi. Penyumbang terbesar dari emisi karbon saat ini adalah BBM kendaran bermotor.

Transisi energi menjadi salah satu jalan yang dipilih untuk menekan emisi karbon. Energi fosil seperti minyak dan batu bara didorong untuk mulai dikurangi dan diganti dengan energi bersih seperti panas bumi, PLTS, PLTA dan lainnya. Di segmen transportasi didorong pengembangan kendaraan listrik.

Namun lembaga ini juga menyadari bahwa tidak mudah melakukan transisi energi. Trilema energi yakni ketahanan energi (energy security) dan menjamin keterjangkauan harga (energy affordability), sekaligus menerapkan prinsip keberlanjutan (environmental sustainability) menjadi tantangan. Itu yang terjadi pada Indonesia saat ini, transisi energi akan berhadapan dengan setidaknya dua hal ini yakni keamanan pasokan, harga yang terjangkau.

Sehingga yang dilakukan adalah menemukan jalan tengah agar transisi energi tetap berjalan namun disaat yang sama kebutuhan energi masyarakat tetap terjamin.

****

Ada fenomena menarik yang terlihat dalam beberapa waktu terakhir. Perusahaan-perusahaan yang selama ini hanya fokus pada industri migas mulai melakukan ekspansi. Ini terjadi karena ada peluang baru yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian dari upaya transisi energi. Pengembangan energi baru dan terbarukan, akselerasi pengembangan kendaraan listrik dan juga pemanfaatan gas sebagai sumber energi dalam masa transisi. Ini semua melahirkan peluang bisnis baru di sektor energi.

Perusahaan seperti PT Pertamina (Persero) misalnya dalam beberapa tahun lalu telah menyebut dirinya sebagai perusahaan energi, tidak lagi semata perusahaan migas. Perusahaan plat merah ini kemudian juga melakukan ekspansi bisnis dengan merambah masuk ke bisnis energi baru dan terbarukan. Pertamina bahkan lewat Pertamina New Renewable Energy, anggota Subholding Power&NRE, telah menjelma menjadi perusahaan yang mengoperasikan panas bumi dengan kapasitas terbesar di Indonesia.

PT Elnusa,Tbk, perusahaan jasa di sektor migas juga telah menyebut dirinya sebagai perusahaan jasa energi. Anggota Subholding Upstream PT Pertamina (Persero) hadir dengan visi baru, “Perusahaan Jasa Energi Terkemuka yang Memberikan Solusi Total”.

Langkah lanjutannya, Emiten berkode saham ELSA ini mulai menjajaki peluang bisnis selain bisnis inti di sektor migas. Ada dua unit bisnis yang tengah didorong yakni transportasi LNG dan bisnis regasifikasi. Novrisal, VP Marketing & Business Development Elnusa dalam diskusi dengan awak media menjelaskan bahwa anak usaha PT Pertamina Hulu Energi ini akan mulai masuk ke bisnis berbasis gas dalam skala kecil.

“Transformasi energi akan tetap kami lakukan. Salah satunya ke depan kami berencana untuk masuk ke transportasi LNG dan Bisnis Regasifikasi,”terangnya.

Gas menjadi sumber energi penting dalam beberapa waktu ke depan. Meski masuk dalam kelompok energi fosil, namun emisi yang ditimbulkan oleh pemanfaatan gas terbilang kecil. Atas alasan itulah, gas menjadi pilihan yang tepat dalam transisi energi sebelum sepenuhnya menggunakan energi baru dan terbarukan.

Saat ini perusahaan tengah melakukan kajian terhadap kedua bisnis baru tersebut. Ditargetkan pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, unit bisnis baru ini sudah bisa berjalan meski masih dalam skala kecil.

Sebagai catatan, transportasi energi sebenarnya bukan suatu yang baru buat Elnusa.  Perusahaan ini sudah punya unit bisnisnya di bidang transportasi energi. Meski harus diakui transportasi LNG akan berbeda dan butuh penanganan yang khusus.  Ini menjadi alasan kenapa transportasi LNG dan Regasifikasi masih harus dilakukan kajian.

Tidak hanya itu, ELSA juga tengah menjajaki peluang bisnis pengembangan kendaraan listrik. Pada Maret lalu perusahaan ini telah menandatangani Nota Kesepahaman Kerja Sama Pengembangan Ekosistem Kendaraan listrik dengan PT Industri Baterai Indonesia (IBC).

Di kesempatan itu, Direktur Utama ELSA Bachtiar Soeria Atmadja menjelaskan bahwa meski ketergantungan pada energi fosil masih tinggi namun energi baru dan terbarukan semakin dibutuhkan. Elnusa menurutnya punya strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan pengembangan bisnis dengan masuk ke bisnis EBT. Salah satu yang dijajaki adalah pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Diversifikasi usaha telah menjadi hal yang lazim dewasa ini. Biasanya selain untuk membagi risiko tetapi juga karena ada peluang usaha. ELSA melihat transisi energi yang terjadi saat ini membuka peluang baginya untuk merambah ke lini bisnis baru. Lini bisnis yang dipilih sesungguhnya bukan suatu yang baru melainkan masih terkait sama lini bisnis yang selama ini digeluti. ELSA pun tetap fokus pada bisnis inti yakni usaha saja sektor Migas dengan Pertamina (Persero) sebagai klien utama. Sektor migas pun diyakini masih punya prospek bagus di jangka panjang.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada Majalah TAMBANG menegaskan sumber energi fosil masih akan tetap digunakan bahkan dalam porsi yang besar dalam beberapa tahun ke depan.

“Jika melihat trend dalam beberapa tahun ke depan, bahkan sampai 2050 masih ada sekitar 60 persen yang menggunakan energi fosil termasuk migas. Besaran 60 persen di tahun tersebut tentu jumlahnya masih cukup besar,”terang Komaidi.

Oleh karenanya Ia masih meyakini bahwa industri migas ke depan masih tetap prospektif. Perusahaan-perusahaan migas dan usaha jasa di sektor migas masih akan tetap bertahan di bisnis intinya.

“Perusahaan-perusahaan migas ini kalaupun mau tetap dibisnis intinya diyakini masih akan tetap prospektif. Tetapi karena ada peluang lain di bisnis energi maka yang dilakukan perusahaan adalah bermain dua kaki. Sektor migas masih akan menjadi bisnis intinya sementara bisnis lainnya sebagai penopang,”terang Komaidi.

Sementara masuk ke bisnis bebasis EBT menurut Komaidi bisa dilakukan untuk mengantisipasi jika nanti pengembangannya bergerak cepat. Ketika perkembangannya lebih cepat dari sekarang, perusahaan migas dan usaha jasa pun tidak ketinggalan momentum.

Komaidi melihat ekspansi yang dilakukan perusahaan-perusahaan migas dan usaha jasa di sektor migas saat ini menjadi bagian dari upaya untuk tetap bertahan. “Ini untuk bertahan, karena perusahaan-perusahaan ini tidak fanatik dengan hanya satu sektor bisnis dan menjadi tujuan akhir bisnisnya apa. Ketika perusahaan-perusahaan ini bertransformasi menjadi perusahaan energi hanya sebagai bagian dari upaya untuk diversifikasi usaha,”terang Komaidi.  

Ia melihat ketika bertransformasi menjadi perusahaan energi, perusahaan jasa akan bertahan dengan bisnis inti tetapi mulai masuk ke bisnis energi yang menjadi trend saat ini dan masa yang akan datang.

Komaidi melihat bahwa migas masih penting untuk energi. Migas juga dibutuhkan sebagai feedstock sehingga masih akan tetap berjalan. “Feedstock dalam kaitan dengan peran migas sebagai bahan baku. Selama ini kita hanya fokus pada aspek energi. Padahal migas juga menjadi bahan baku di induri petrokimia dan pupuk, perabotan rumah tangga, sintetis, kursi meja dan jok mobil,”terangnya.

Oleh karenanya ketika 100 persen tidak boleh pakai migas sebagai sumber energi, komoditi tetap dibutuhkan sebagai bahan baku. “Kebutuhannya juga masih besar hanya peruntukannya yang berbeda. Industri usaha jasa juga masih akan tetap tumbuh,”tutupnya.

Bacthiar dalam sambutan pembuka diskusi bertajuk Energizing the Nation Through Sustainable Energy Solution, mengakui bahwa perjalanan panjang yang telah dilalui Elnusa membuat perusahaan ini semakin kokoh. Ini akan menjadi modal utama menghadapi tantangan di industri migas dan energi. “Kami berharap di usia ke-55 tahun ini, kami bisa memaknai eksistensi kami dengan lebih baik,”harap Bachtiar.