Jakarta,TAMBANG, Kelanjutan operasi perusahaan tambang pemegang PKP2B yang akan habis masa kontrak kembali menjadi tidak jelas. PT Tanito Harum yang sebelumnya diberikan perpanjangan menjadi IUPK Perpanjangan kembali dicabut. Konon pencabutan ini karena ada Surat dari KPK pada Presiden Joko Widodo terkait revisi keenam dari PP 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara. Juga ada surat dari Kementrian BUMN yang meminta BUMN diprioritaskan untuk wilayah PKP2B yang habis masa kontrak.
Pencabutan IUPK Perpanjangan ini menyebabkan PT Tanito Harum berhenti produksi. Mengingat PT Tanito Harum hanya memproduksi 1 juta ton, penghentian kegiatan operasi tidak banyak berdampak. Tetapi perlu diingat masih ada setidaknya enam perusahaan PKP2B yang akan berakhir masa kontrak dalam beberapa tahun mendatang. Perusahaan-perusahaan tersebut masuk dalam kelompok produsen batu bara terbesar di Indonesia.
PT Arutmin Indonesia akan habis pada 2020, PT Kaltim Prima Coal pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023 dan PT Berau Coal pada 2025.
Salah satu yang mengemuka dari soal perpanjangan PKP2B ini adalah soal IUPK untuk perusahaan yang masa kontrak berakhir. IUPK ini diberikan tanpa lewat proses lelang. Sementara amanat UU Minerba menyebutkan harus lewat lelang. Meski di PP 77 tahun 2014 yang merupakan revisi ketiga dari PP 23 tahun 2010 mencantumkan soal perpanjangan PKP2B menjadi IUPK Perpanjangan. Sementara amanat dalam beleid turunan tersebut dianggap menyalahi UU Minerba.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Publish What You Pay (PWYP) pengamat Hukum Pertambangan Ahmad Redi memberi beberapa catatan hukum. Pemerintah khususnya Kementerian ESDM harus mengambil pelajaran dengan kejadian perpanjangan PKP2B PT Tanito Harum melalui perubahan ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berujung masalah.
Masalah perubahan PKP2B ke IUPK itu terjadi lantaran tidak sesuai dengan ketentuan Undang Undang Minerba. “Ini juga tidak konsisten, Menteri ESDM mengeluarkan IUPK-nya Tanito Harum kemudian langsung dibatalkan,” ujar Redi yang juga Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute.
Redi sangat menyayangkan hal ini karena karyawan PT Tanito Harum yang akhirnya dirugikan. Mereka tidak lagi bekerja. Selain pendapatan asli daerah juga berkurang.
“Andaikan itu dikaji, kan Tanito Harum mengajukan (perpanjangan) dua tahun yang lalu sebenarnya. Dua tahun lalu sebenarnya bisa, misalnya mendesak Perppu, meminta DPR untuk membahas secara cepat RUU-nya kan bisa dilakukan oleh Pemerintah oleh Kementerian ESDM. Nah, ini yang kemudian kesalahan,” lanjut Redi.
Redi akhirnya menilai tata kelola izin pertambangan di Indonesiayang harus dibenahi. Dan ini harus dimulai dari revisi UU Minerba. “Tidak hanya Tanito Harum. Yang mau habis lagi, ada Adaro, KPC, kalau tidak ada penyelesaian hukumnya ya perusahaan tidak ada kepastian hukum,” katanya.
Bahkan efek domino dari potensi masalah ini juga sangat besar. Termasuk PT PLN berpotensi terkena imbasnya. Ini terkait pasokan batubara untuk pembangkit listrik PLN terancam akan terganggu. Langkah cepat ditekankannya harus dilakukan melalui Perppu atau juga bisa melalui uji materi ke MK.
Oleh karenanya menurut Redi Presiden Joko Widodo harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menyelamatkan operasional sejumlah perusahaan tambang batu bara. Kepastian hukum perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) sejumlah perusahaan sangat tergantung pada keputusan Presiden.
Sementara Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan tarik menarik antara kepentingan pemerintah dalam konteks hukum, dengan industri untuk mendapatkan relaksasi dalam menjalankan usahanya terus terjadi.
“Solusi satu-satunya untuk mengembalikan kepercayaan diri investor berada di tangan pemerintah. Kalau dilihat, sejauh ini pelaku usaha semua patuh,” ujar Irwandi.
Irwandy juga menilai ditariknya kembali izin operasi Tanito Harum menjadi preseden buruk. Apalagi semua orang tambang tahu bahwa tambang yang sudah beroperasi tidak boleh berhenti kegiatan produksinya. Karena jika itu terjadi untuk mengaktifkan kembali tidak mudah.
Ia kemudian mensitir Pasal 83 Undang-Undang Minerba yang menyebutkan luas wilayah IUPK pada tahap kegiatan eksplorasi batubara maksimal 50.000 ha dan kegiatan operasi batubara sebesar 15.000 ha.
“Permen [Peraturan Menteri ESDM] No.11 tahun 2018 sebagaimana diamandemen oleh Permen No.22 tahun 2018, apabila PKP2B berakhir harus mengajukan lagi [IUPK]. Tanito sudah mengajukan sejak dua tahun lalu. Apa yang terjadi dalam proses dua tahun itu? Ini yang harus dicermati,” tuturnya.
Irwandi juga menyebutkan ada peluang bagi perusahaan pemegang PKP2B yang luasnya lebih dari 15.000 ha untuk mengajukan perpanjangan dalam bentuk IUPK. Hal tersebut disebabkan IUPK hasil perpanjangan tersebut tidak sama dengan IUPK biasa.
“Pertama, hak perpanjangan PKP2B sudah diatur dalam pasal 169 UU Minerba. Kedua, penciutan jadi 15 ribu tidak berlaku sepanjang permohon PKP2B telah menjelaskan rencana kontrak kerjanya pada pemerintah dan telah disetujui pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan kolapnya perusahaan-perusahaan tambang batubara pasca gulung tikarnya PT Tanito Harum.
Padahal perusahaan yang akan berakhir masa kontraknya dalam beberapa tahun mendatang menguasai 40% produksi batu bara nasional. Di sisi lain sampai sejauh ini industri batu bara memiliki kepentingan strategis bagi pemerintah yang berkaitan dengan suplai listrik, ekspor, PNBP, dan pajak bagi hasil.
Maryati mengatakan perlu ada kepastian hukum mengenai jaminan perpanjangan PKP2B dan luas wilayah IUPK. Ia melihat DPR selaku pengawas pelaksanaan UU cenderung tidak bersuara menyikapi hal tersebut. Selain itu juga ada klausul yang lebih penting yaitu peringatan dari KPK agar Menteri ESDM menarik izin IUPK karena tidak sesuai perundangan yang berlaku.
“Terlepas dari adanya surat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan surat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi draft revisi ke-6 PP 23 Tahun 2010, tarik ulur ini tidak akan berkepanjangan, selama semua pihak konsisten berpegang pada mandat UU Minerba,” ujarnya.
Apabila regulasi terkait pertambangan tidak diubah maka akan terus menimbulkan polemik bagi perusahaan-perusahaan tambang batubara. “Saya menyarankan diselesaikan sebaik-sebaiknya. Kami minta transparansi dan stabilitas,” tutupnya.