Beranda Tambang Today Umum DPR: Indonesia Darurat Hukum Minerba

DPR: Indonesia Darurat Hukum Minerba

Jakarta-TAMBANG.Anggota DPR-Komisi VII Satya W. Yudha mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah mengalami darurat regulasi di sektor Minerba. Banyak amanat UU Minerba yang disahkan pada tahun 2009 tidak berhasil dilaksanakan. Belum lagi regulasi turunan yang bertentangan dengan semangat UU Minerba. “Saya katakan ke Dirjen Minerba dalam Rapat Dengar Pendapat bahwa kita sudah mengalami darurat hukum minerba. UU dibentuk namun tidak bisa dijalankan,”kata Satya dalam salah satu  Diskusi di Jakarta.

 

Satya menjelaskan semangat dasar dari UU Minerba adalah kedaulatan negara dan nilai tambah. Wujud dari kedaulatan dalam pengelolaan pertambangan salah satunya dengan perubahan rezim dari rezim kontrak menjadi rezim Izin. “Kalau rezim perizinan setidaknya negara sebagai pemberi izin berada lebih tinggi dari perusahaan yang diberi izin. Itu salah satu bentuk kedaulatan negara meski kalau negara salah tetap akan dihukum,”terang Satya.

Terkait dengan itu, Satya menegaskan bahwa jika Ia ditanya apakah sepakat adanya perubahan dari KK ke IUPK makanya jawabannya sepakat. “Saya katakan setuju, karena semangat dari UU Minerba adalah rezim izin. Menjadi masalah ketika ada perusahaan yang ingin perubahan KK menjadi IUPK ditengarai dicampur dengan perpanjangan izin pengelolaan. Ini digabung antara aspek hukum dan ekonomi. Harusnya dipisahkan antara aspek ekonomi yang perpanjangan izin pengolahan dengan aspek hukum,”terang Satya.

 

Selain itu, UU Minerba juga mengusung semangat nilai tambah dengan mewajibkan perusahaan melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Untuk hal ini, UU memberi waktu lima tahun. Namun sampai dengan batas waktu yang ditetapkan UU, tidak ada smelter baru yang berhasil di bangun. “Sayangnya itu saja sudah tidak bisa dicapai. Dan sebetulnya pada Desember 2014, begitu tidak tercapai, UU sudah invalid. Itu baru dari satu klausul,”kata Satya.

 

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur soal izin ekspor. Beberapa komoditi masih diperkenankan untuk diekspor tetapi dalam bentuk konsentrat seperti tembaga dan bijih besi. Namun produk lain seperti nikel dan bauksit tidak boleh diekspor.

 

“Saya sebagai anggota DPR hendak meluruskan aspek hukumnya. Tidak hanya UU yang tidak dilaksanakan, ada juga Permen yang dikeluarkan untuk memberi dispensasi pada kelompok tertentu. Memberi kemudahan pada kelompok tertentu mendapatkan relaksasi sehingga masih bisa mengekspor hingga sekarang. Dan itu tidak sesuai dengan semangat UU,”terang Satya.

 

Satya bahkan sudah sejak 2013 mengingatkan Pemerintah untuk segera lakukan perubahan. “Ketika di seminar KAHMI pada 2013, dan juga dapat rapat-rapat dengan Pemerintah saya  sudah mengingatkan agar segera dilakukan perubahan. Karena dilihat dari waktu rasanya tidak ada yang bisa melaksanakan sesuai dengan yang ditentukan,”terang Satya.

 

Namun karena tahun 2014 adalah tahun politis rencana perubahan tersebut tidak terlaksana. Tetapi saat ini perubahan itu sudah harus dilakukan. DPR sudah memasukan revisi UU minerba dalam prolegnas tahun ini. “Kita berproses untuk melakukan revisi UU. Namun pada saat bersamaan, banyak industri mengatakan bahwa mereka tidak bisa menunggu lama. Karena kalau tidak mereka tidak bisa melakukan operasi, tidak bisa melakukan aktivitasnya. Mulai dari industri yang paling kecil sampai yang paling besar,”terang Satya.

 

Menurut Satya kalau sesuai dengan semangat UU Minerba maka perusahaan seperti PT Freeport hanya boleh mengekspor 40% yakni yang sudah dilakukan pemurnian di Smelting Gresik. Sementara 60% tidak boleh diekspor. Namun dampaknya sangat besar mulai pendapatan negara yang turun, akan ada PHK dan dampak sosialnnya pun besar.

 

“Namun kalau aspek ekonomi dikesampingkan dan fokus ke aspek hukum maka kita harus sepakat bahwa ini adalah darurat hukum minerba. Kalau mau cepat untuk lakukan perubahan maka bisa menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu),”kata Satya.

 

Jika tidak segera dilakukan perubahan maka bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi perusahaan tambang yang tutup dan banyak yang diPHK. Jika ini yang terjadi akan berimbas pada menurunya pendapatan negara. “Kalau pun tidak aka nada permohonona minta diundur, ada yang minta direlaksasi dan makin melawan UU. Ini harus segera dilakukan revisi,”terang Satya.

 

Hal ini juga menegaskan bahwa upaya perubahan ini tidak didorong oleh kepentingan PT Freeport Indonesia. “Kami sudah mengingatkan Pemerintah sejak lama dan ini tidak terkait dengan kepentingan PT Freeport Indonesia. Kita harus pisahkan aspek hukum dan aspek ekonomi. Ini yang harus dipisahkan. Kami di DPR hanya akan fokus pada aspek hukum,”terang Satya.

 

Melihat waktu yang ada rasanya sulit untuk tahun ini dilaksanakan revisi UU Minerba. Saat ini baru ada beberapa lembaga seperti Perhimpungan Ahli Pertambangan (PERHAPI) dan Indonesia Mining Institute (IMI) yang mengadakan focus group discussion terkait revisi UU Minerba.