Jakarta, TAMBANG – Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Faby Tumiwa mendorong agar pembahasan revisi regulasi terkait energi surya segera dirampungkan. Menurutnya, hal utama yang perlu diperbaiki yaitu mengenai aspek keekonomian investasi PLTS atap bagi konsumen rumah tangga.
Kata Faby, hingga kini Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 yang mengatur soal pemanfaatan energi surya, belum juga selesai pembahasaanya meski telah melewati pembahasan selama beberapa bulan terakhir.
Padahal, kebijakan tersebut penting untuk mendukung pencapaian target 23% bauran energi terbarukan tahun 2025, di mana energi surya memiliki potensi mencapai 19,8 TWp.
“PLTS atap dapat mendukung pencapaian target energi terbarukan yang dicanangkan Presiden melalui gotong royong masyarakat. Adanya potensi teknis dan minat yang tinggi dari masyarakat dan pelaku usaha untuk ikut pemasangan PLTS atap harus direspon dengan regulasi yang kondusif,” tutur Faby dalam konferensi pers, Sabtu (24/7).
“Bagi konsumen rumah tangga ketentuan ekspor-impor 1:1 ke dan dari jaringan PLN akan mempercepat waktu pengembalian investasi pelanggan. Diperlukan juga dengan proses pengajuan dan perizinan yang jelas, tidak berbelit-belit, kepastian mendapatkan meter exim yang diterapkan seragam di seluruh Indonesia perlu agar calon pengguna mendapatkan kepastian,” sambungnya.
Sebelumnya, menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, draf terbaru revisi Permen 49/2018 ini akan mengembalikan beberapa hal, seperti tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1 sesuai Peraturan Direksi PLN 1 yang sebelumnya dipakai, lalu periode reset kelebihan transfer listrik diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, dan penyederhanaan proses pendaftaran serta penggantian kWh meter.
Perubahan ini tentu meningkatkan daya tarik dan keekonomian PLTS atap sehingga dapat semakin menarik minat masyarakat hijrah ke energi terbarukan.
AESI sendiri, menurut Fabby, mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peran aktif masyarakat dalam menggunakan energi terbarukan dengan perbaikan Permen tersebut. Hanya saja perekonomian memang masih menjadi salah satu faktor penting bagi masyarakat dan berbagai pihak. Fabby melihat perbaikan regulasi yang meningkatkan keekonomian terbukti mampu menjadi pendorong utama pesatnya penggunaan PLTS Atap.
“Bila Pemerintah serius ingin menunjukkan dukungan pada pemanfaatan energi surya, peraturan yang ada harus merefleksikan tingkat keekonomian yang menarik, juga kejelasan prosedur,” ulasnya
Lebih lanjut, AESI melihat ada sejumlah kendala lain yang dihadapi para pengguna PLTS atap. Yakni proses penggantian kWh meter menjadi kendala yang paling umum dialami oleh pengguna sektor residensial.
Survei pasar yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), pada perusahaan engineering, procurement, and construction (EPC), penggunaan PLTS atap harus menunggu minimal 1 bulan dan tak sedikit yang di atas 3 bulan.
“Padahal dalam Permen saat ini seharusnya dalam maksimal 15 hari kerja setelah SLO diterima oleh PLN. Sejumlah pelanggan komersial dan industri (C&I) juga mengalami kesulitan, misalnya permintaan naik ke tingkat pelanggan premium tanpa dasar yang jelas dan pemberlakuan SLO untuk instalasi di bawah 500 kWp,” imbuh Fabby.
Dengan tenggat waktu yang tinggal 4 tahun untuk mencapai target energi terbarukan 23% pada 2025 dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai komitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC), kata Fabby, partisipasi berbagai pihak, khususnya masyarakat sangat penting dan tidak terelakkan.
“Sebab pemasangan 1 GWp PLTS atap untuk penggantian subsidi listrik akan menurunkan jumlah subsidi hingga Rp 1,3 triliun per tahun,” lanjutnya.
Sekretariat Jendral AESI sekaligus Head of Business Solution SUN Energy, I Made Aditya menambahkan, PLTS atap merupakan inovasi yang tak bisa dihindarkan. Sehingga sangat lumrah diterapkan di masyarakat.
“Bisnis PLTS merupakan ekosistem atau bisnis yang sangat terbuka, apabila ada ketertarikan dari semua pihak sudah sepantasnya memiliki hak untuk berkompetisi secara sehat baik dari stakeholders, pengembang, instaler dan sebagainya sehingga peraturan dan regulasi yang hendaknya dibuat itu sudah seharusnya mendorong market demand. Sehingga apabila semuanya di dukung maka masyarakat yang akan diuntungkan,” tandas Aditya.
Rasionalitas keekonomian dengan tarif net-metering 1:1 ini seringkali dikhawatirkan mengurangi pemasukan (revenue) PLN, bila banyak masyarakat yang menggunakan PLTS atap. Kondisi oversupply di beberapa wilayah, ditambah dengan turunnya permintaan listrik dan tidak tercapainya pertumbuhan sales listrik juga banyak diungkapkan sebagai alasan.
“Ketika kita berbicara soal tarif, misalnya tarif yang kita bayarkan baik residensial maupun komersial industrial itu juga sudah memuat komponen-komponen seperti transmisi dan sebagainya. Perlu diingat juga apabila kita melakukan pemasangan listrik contohnya di rumah itu sudah ada biaya pemasangan atau biaya penyambungan listrik yang dibayarkan oleh konsumen kepada PLN,” ungkap Aditya.
“SUN Energy sendiri hingga saat ini sudah memiliki 68 pekerja tetap yang dari 3 tahun lalu yang sudah naik 300 persen dan bekerja sama dengan para instaler yang notabenya memiliki banyak ahli atau teknisi yang memasang PLTS residensial maupun komersial dan industrial,” pungkas Aditya.