Jakarta, TAMBANG – Penggunaan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B35, menuai kritik dari sejumlah pihak lantaran sisi kelemahan lebih dominan dibanding kelebihannya. Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Bambang Tjahjono menyarankan agar biodiesel di atas 30 persen dicampur dengan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) bukan Fatty Acid Methyl Esters (FAME).
“Untuk kenaikan kadar biodiesel lebih dari 30% sebaiknya menggunakan HVO (green diesel), berasal dari sawit juga dan sudah bisa diproduksi oleh Pertamina. Untuk B35, yang 5% memakai HVO,” ujar Bambang dalam keterangan tertulis, Kamis (9/3).
Usulan praktisi tambang tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya kualitas green diesel jauh lebih baik dibanding FAME.
“Walaupun harga HVO lebih mahal daripada FAME, penambahan 5 – 10% tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap harga, perkiraan dari Pertamina sekitar Rp 20.000 per liter,” tegasnya.
Menurut dia, HVO atau D100 bisa disimpan lebih lama, tidak seperti FAME yang punya masa kadaluarsa tiga bulan. Meski begitu, nilai cetane HVO terlalu tinggi, lebih dari 70 dan tidak baik untuk performa mesin.
“Beresiko merusak engine karena terlalu panas, sehingga penggunaan HVO 100 % juga tidak mungkin,” paparnya.
Sebagai orang yang sudah lama menggeluti usaha pertambangan, Bambang menyebut biodiesel yang dicampur FAME lebih boros dibandingkan solar dari minyak bumi. Ini karena tenaga yang dihasilkan lebih rendah. “Untuk B 100 sekitar 7 – 10%, untuk B30 1-3% untuk otomotif dan 2-5% untuk alat berat,” imbuhnya.
Selain itu, bersifat higroskopis atau mudah menyerap air dari udara bebas yang tidak bagus untuk jangka panjang. Buntut dari higroskopis ini adalah tumbuhnya jamur dan terbentuknya gel.
“Bersifat sebagai oksidan, menghasilkan endapan. Ini akan terjadi di tangki bahan bakar dan terbawa ke filter bahan bakar. Akibatnya umur filter akan lebih pendek. Bersifat korosif, terutama pada logam tembaga, kuningan dan perunggu,” tambahnya.
Adapun kelebihan biodiesel menggunakan FAME di antaranya bisa mengurangi pencemaran lingkungan. Hampir tidak ada senyawa karbon yang dilepas ke udara, walaupun ada sedikit senyawa nitrogen.
“Membersihkan kerak yang tertinggal diruang bakar, meskipun ini sekaligus menjadi kekurangan juga karena menimbulkan kotoran ke filter oli. Dan tidak terjadi pada mesin baru atau yang sudah di overhaul,” beber dia.
Bambang kemudian menjelaskan pengaruh peningkatan biodiesel dari B30 ke B35 dan bahkan sudah hampir menuju B40 ini. Dari sudut pandang pengguna, belum ada satupun produsen kendaraan dan alat berat yang merekomendasikan atau menyetujui penggunaan biodiesel di atas 30%.
“Ini menyangkut jaminan dari produsen kendaraan atau alat berat. Sifat-sifat negatifnya (higroskopis, oksidan, korosif-red) akan semakin meningkat, membebani pengguna dalam maintenance. Karena lebih boros, konsumsi BBM akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan FAME,” jelasnya.
Sementara dari sudut pandang bisnis, peningkatan kadar biodiesel menyebabkan Pertamina dan badan usaha serupa akan semakin terbebani karena pendapatan dari hilirisasi minyak sawit ini semakin menipis.
“Pertamina, AKR, Shell dll akan semakin terbebani karena porsi bisnisnya semakin kecil. Dari kadar FAME yang membesar tidak bisa mendapat keuntungan, bahkan keluar biaya mencampur. Dengan B30 saja mungkin Pertamina sudah bisa menghentikan impor solar karena produksi kilang dalam negeri mencukupi,” pungkasnya.