Jakarta, TAMBANG – Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan ( RUU EBT) yang ditargetkan rampung pada tahun ini terancam diundur. Pasalnya, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sudah final, sampai saat ini belum diserahkan kepada DPR RI.
“Hingga saat ini, DIM final belum disampaikan kepada DPR. Tampaknya, RUU EBET tidak akan dapat ditetapkan pada 2022 ini, dan kembali menjadi RUU prioritas pada 2023,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (14/12).
Padahal, lanjut Marwan, RUU ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2019 dan menjadi RUU prioritas pada 2020, 2021 dan 2022. Draft RUU EBT sendiri baru disampaikan DPR kepada Pemerintah 14 Juni 2022.
“Pemerintah baru memberi pandangan (termasuk draft Daftar Inventarisasi Masalah, DIM-red) atas draft RUU EBET saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR dan DPD RI pada 29 November 2022,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Marwan juga menyoroti beberapa pasal yang kontradiktif seperti masih mengakomodasi penggunaan energi fosil. Menurut dia, ketentuan terkait program gasifikasi batu bara (DME) pada dasarnya tidak layak ekonomi, namun tetap dicoba untuk diselundupkan.
“Patut diduga sebelumnya, program DME telah digunakan “sebagai teaser” untuk memperoleh perpanjangan PKP2B menjadi IUP (dalam revisi UU Minerba No.4/2009-red) dan ke depan digunakan untuk mengamankan kepentingan bisnis dan menjaga harga saham,” bebernya.
Pemuatan ketentuan tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga menurut Marwan mestinya dihilangkan. Hal ini karena Indonesia telah memiliki UU Ketenaganukliran tersendiri yaitu UU No.10 tahun 1997.
“Terlepas perlunya diversifikasi, praktis PLTN tidak prioritas dan masih lama untuk dibangun. Tersedia beragam alternatif energi terbarukan seperti panas bumi, airdan tenaga surya yang semakin murah. Negara dan rakyat tidak boleh kalah oleh “agenda dan promotor” pembangkit PLTN,” paparnya.
Sementara, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menilai pemerintah tidak serius mengurusi RUU energi bersih ini. Menurutnya, pemerintah telah melanggar pasal 49 UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Di sana disebutkan UU itu setelah disahkan oleh paripurna, lalu disampaikan kepada Presiden dalam waktu 60 hari, Presiden memberikan Surpres yang dilampiri dengan DIM. Bahkan sampai hari ini sudah 60 hari lebih,” bebernya.
Mulyanto juga menduga molornya pengesahan RUU ini lantaran ada pasal susulan dari pihak tertentu soal power wheeling. Meskipun belakangan Kementerian ESDM menghapus pasal ini atas saran Kementerian Keuangan.
“Ini kenapa terlambat, karena pemerintah memasukkan satu pasal terkait power wheeling. Terjadi debat sehingga terlambat. Power wheeling bahasa sederhananya privatisasi jaringan transmisi listrik PLN,” pungkasnya.