Jakarta – TAMBANG. Elpiji bersubsidi atau dikenal elpiji 3 kg dalam beberapa hari terakhir ini banyak diperbincangkan. Mulai dari adanya kelangkaan di pasar sampai disparitas harga antara elpiji yang disubsidi dengan elpiji non subsidi.
Terkait hal ini pengamat energi Sofyano Zakaria meminta Pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM merevisi dan atau menerbitkan kembali Peraturan Menteri ESDM terkait distribusi dan penggunaan elpiji bersubsidi tabung 3kg. Dalam regulasi ini juga diatur besaran Harga Eceran Tertinggi yang harusnya berlaku sama diseluruh pelosok negeri ini.
Menurut Sofyano pelaksanaan Distribusi Tertutup terhadap elpiji 3kg sebagaimana diatur dengan Peraturan Bersama Mendagri no 17/2011 dan Menteri ESDM nomor 5/2011, hanya merupakan gagasan dan pemikiran yang bagus diatas kertas namun nyaris “mandul” dalam pelaksanaan.
Selama ini yang terjadi distribusi tertutup hanya bisa dilaksanakan apabila penyalur elpiji 3kg terbilang sedikit jumlahnya seperti misalnya pada penyaluran bbm bersubsidi oleh SPBU SPBU yang jumlahnya hanya sekitar 5.300 SPBU. “Dengan jumlah SPBU sebanyak 5.300 an saja, itu pun ternyata Pemerintah tidak pernah berhasil menghapus penyelewengan bbm bersubsidi. Ini sebagai contoh”kata Sofyano yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI).
Bagaimana Pemerintah akan mampu melaksanakan dan mengatur serta mengawasi distribusi tertutup dengan jumlah agen yang lebih dari 7000 dan dengan jumlah Pangkalan elpiji sekitar 150.000 ditambah lagi dengan sekitar 750.000 pengecer yang tersebar diseluruh Indonesia. “Saya sangat yakin program distribusi tertutup yang ditetapkan Pemerintah sangat mustahil bisa terwujud dalam kondisi seperti ini,”katanya dalam rilis yang diterima Majalah TAMBANG.
Tidak hanya itu, dalam melaksanakan amanat Peraturan Bersama Mendagri dan MESDM tersebut ternyata Pemerintah Daerah yang ditugaskan melakukan Pengawasan dan Pembinaan terhadap agen dan pangkalan elpiji , nyaris terbukti tidak mampu melaksanakan amanat tersebut.
Oleh karenanya, salah satu cara untuk mengatasi kemungkinan membengkaknya kuota elpiji 3 kg , sebaiknya Pemerintah dan DPRRI mengkaji ulang besaran subsidi elpiji 3 kg yang sejak tahun 2007 tidak pernah dikoreksi. Sementara ke depan konsumsi elpiji 3 kg sangat meningkat mengingat ada pertambahan jumlah penduduk, pertambahan jumlah kepala keluarga baru, peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat.
Selain itu pembenahan juga perlu dilakukan terkait sistem alokasi anggaran subsidi untuk elpiji 3 kg, sebaiknya juga tidak ditetapkan dengan sistim kuota, namun dalam bentuk total nominal besaran subsidi pertahunnya. Penetapan kuota selalu menimbulkan masalah ketika kuota terlampaui sebelum tutup tahun dan ini sangat beresiko timbulnya gejolak atas supply ketika belum adanya kesepakatan penambahan kuota.
“Selama belum ada kejelasan regulasi tentang penggunaan dan pengguna elpiji 3 kg, maka Pemerintah perlu memikirkan bahwa kuota elpiji 3 kg bisa diartikan bukan hanya sebagai kuota volume atau kuota nilai subsidi. Artinya, volume boleh lebih selama nilai subsidi belum terlampaui,”terang Sofyano yang selama ini menaruh perhatian besar pada persoalan elpiji ini.
Pemerintah dan DPR-RI juga menurutnya harus memahami bahwa yang namanya subsidi tidak lain adalah bantuan oleh karenanya tidak lebih besar dari nilai yang dibantu atau yang disubsidi. Karenanya sebaiknya Pemerintah dan DPR-RI berkomitmen dan sepakat bahwa harusnya subsidi tidak lebih besar dari harga beli masyarakat atas produk elpiji yang disubsidi.
Jika Pemerintah bermaksud menekan besaran subsidi elpiji 3 kg, maka Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang sama dengan subsidi BBM di solar dan minyak tanah yakni dengan subsidi tetap (fixed subsidi) namun Pemerintah harus sejak dini sudah mensosialisasikan rencana ini agar dapat diterima masyarakat.
Sebagai gambaran bahwa sejak dilakukannya konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg pada tahun 2007 hingga tahun 2014, Pemerintah sudah berhasil menghemat subsidi sebesar kurang lebih Rp.164,7 triliun. Biaya konversi sendiri menggunakan anggaran sebesar Rp.13,2 triliun sehingga net penghematan bagi Pemerintah sekitar Rp.151,4 triliun. Sementara besaran subsidi untuk elpiji 3 kg pertahun sekitar Rp.40 sampai dengan Rp.50 triliun.