Jakarta-TAMBANG. Rencana pemerintah untuk menaikan royalti IUP batu bara sepertinya bakal segera diterapkan. Hal ini dilakukan untuk dapat memenuhi target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditargetkan menjadi Rp.52 triliun tahun ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R. Sukhyar mengakui bahwa sektor batu bara menjadi satu-satunya tulang punggung untuk mengejar target penerimaan tersebut. Hal ini terjadi karena sektor mineral belum dapat memberi kontribusi maksimal terkait kebijakan larangan ekspor dan wajib dilakukan pengolahan dan pemurnian.
“Harus diakui untuk saat ini, sektor batubara menyumbang 80 persen penerimaan negara dari sektor minerba, sedangkan mineral hanya 20 persen,” demikian kata Sukhyar pada Jumat, (6/2).
Untuk kenaikan royalti tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan memiliki dua opsi. Pertama disesuaikan dengan kadar batu bara. Opsi lainnya akan ditetapkan sama yakni sebesar 13,5%.
“Opsi pertama royalti naik menjadi 7 %, 9 % dan 13,5 % yang disesuaikan dengan tinggi rendahnya kalori batu bara. Sedangkan opsi kedua royalti batu bara sama rata sebesar 13,5 persen. Opsi ini segera kami sampaikan ke Menteri Keuangan,” ungkap Sukhyar.
Lebih lanjut menurut Sukhyar, penetapan kenaikan royalti berdasarkan opsi pertama harus diikuti dengan peningkatan target produksi batu bara sebesar 30 juta ton dari awalnya 425 juta ton. Sementara jika opsi kedua diterapkan maka target produksi batu bara tahun ini tidak perlu direvisi.
“Besaran royalti ini akan ditetapkan dalam revisi PP 9/2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP,” jelasnya.
Dalam PP 9/2012 tersebut, royalti batu bara untuk IUP ditetapkan sebesar 3 persen dari harga jual untuk batu bara dengan kalori kurang dari 5.100 kalori/kg (Kkal/kg), 5 persen untuk batu bara dengan tingkat kalori antara 5.100-6.100 Kkal/kg, dan sebesar 7% dari harga jual untuk batubara dengan tingkat kalori lebih dari 6.100 Kkal/kg.
Sesuai dengan opsi pertama, untuk batu bara dengan kalori kurang dari 5.100 Kkal/kg, akan naik dari 3% menjadi 7 %, selanjutnya untuk batu bara kalori 5.100-6.100 Kkal/kg akan naik dari 5% menjadi 9%, dan kalori lebih dari 6.100 Kkal/kg naik menjadi 13,5 persen.
Pada awalnya pemerintah hanya menetapkan target penerimaan negara bukan pajak dari sektor minerba di angka Rp 40,6 triliun. Angka ini dinilai lebih masuk akan setelah menilah pencapaian tahun 2014 sebesar Rp 35 triliun dari target Rp 39 triliun. “Kami awalnya minta Rp 40,6 triliun yang lebih realistis. Karena rendahnya harga batu bara membuat realisasi PNBP 2014 hanya sekitar Rp 35 triliun,”ujar dia.
Menurut Sukhyar penetapan angka Rp 40,6 triliun sesuai dengan asumsi produksi batubara sebesar 425 juta ton. Perinciannya, sebanyak 92 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sisa 333 juta ton untuk ekspor. Angka produksi ini sudah lebih tinggi dari realisasi 2014 yang sebesar 420 juta ton.
“Kami tidak mau bertentangan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang meminta ekspor komoditas dikurangi. Kami harus mengacu ke KEN karena suatu saat ekspor batu bara harus nol atau tidak ada,” jelas Sukhyar lagi.
Meski demikian jika kebijakan ini benar-benar diterapkan dalam waktu dekat tentu akan semakin menyulitkan pelaku usaha. Saat ini dengan kondisi harga batu bara yang masih cendrung turun, akan semakin menyulitkan pengusaha khusus produsen batu bara kalori rendah yang selama ini margin keuntungannya sangat tipis.
Oleh karenanya sejak awal kalangan pengusaha menolak rencana tersebut dalam kondisi pasar batu bara seperti saat ini. Akan tetapi dengan tekanan tersebut, kalangan pelaku usaha tentu harus mencari jalan keluar untuk mengatasi beban tersebut.